Sebuah pintu besi besar terbuka dengan sendirinya.
Jegreeek!!! Kriiiiittt!!!
Pintu kastel berderak memekakkan telinga, membuat ngilu dan miris, benar-benar kurang pelumas. Kami bertiga masuk ke dalam gedung berbentuk kastel mengikuti calon mempelai.
Kulihat ada seorang vampir di sana, berdiri di tengah aula yang suram dan remang. Vampir yang bagiku misterius dan mengenakan pakaian seperti seorang raja dalam tokoh film. Pakaian berwarna merah marun yang diberi aksen emas, tanpa mahkota. Rambutnya panjang lurus, berkilau dalam keremangan.
"Selamat datang di 'Ucivee," sambutnya ramah.
Bellida membungkukkan tubuhnya memberi hormat, diikuti oleh Kiehlyn. Aku tidak segera membungkuk karena aku tak tahu siapa dia. Vampir itu menatapku, dia sangat mendominasi dan membuatku ingin menghormat juga, tapi aku menahan diri.
"Siapa yang kamu bawa ini Nona Isabella?"
Aneh, vampir itu menyebut nama asli Bellida.
"Perkenalkan tuan, ini Everryn Heylden. Dia teman saya."
"Halo Nona Everryn Heylden," sapanya.
Aku mengangguk kaku, tidak tahu harus berucap apa. Sambutan dan sapaanya sangat tidak hangat dan cenderung mengancam. Tidak seramah di awal tadi.
"Kelihatannya kamu belum lama berubah ya?" tebak vampir berbaju marun itu.
Aku menatap Kiehlyn yang ada di samping, Kiehl bersiaga, begitu pula diriku. Aku menjawab pertanyaan vampir itu, "benar." Tanpa tambahan kata-kata lain.
"Sebenarnya saya penasaran sekali, di mana kamu tinggal nona Isabella? Dan berapa banyak temanmu?" Vampir itu sama sekali tidak berpindah dari tempat ia berdiri, dan tetap bertanya dengan bahasa yang baku dan dingin.
"Maaf tuan, Sain Areon sudah mengijinkan saya untuk tetap menjaga apa yang menjadi milik saya. Saya tidak bisa memberi tahu anda." tolak Bellida.
Vampir itu tersenyum kecil dan memperkenalkan dirinya padaku. Namanya Erziret Lerigotle, pemimpin kaum vampir saat ini. Usianya sudah mencapai angka ribuan, berbeda jauh dengan kami bertiga. Pantas saja aku merasa diintimidasi hanya dengan menatap matanya.
*****
Tak lama kemudian Erziret tampak memanggil anak buahnya, sekelompok vampir berseragam serba hitam.
"Antarkan tamu kita ke kamar!" perintahnya.
Kami tak merespons apapun sampai para vampir tanpa ekspresi itu menggiring kami berjalan masuk ke sebuah kamar, melewati ruang-ruang lain dengan pintu tertutup.
Kiehlyn, Bellida, dan aku masuk agak jauh ke dalam, di kamar hitam yang sangat besar. Mungkin ruang kamar ini cukup untuk menampung seratus orang.
Setelah memastikan Bellida, Kiehlyn, dan diriku masuk mereka segera pergi. Aku tak suka suasana hening ini, seperti hidup di dunia lain.
"Bell, kapan acaramu akan dilaksanakan?" tanya Kiehlyn sambil mengamati ruangan itu dengan saksama.
"Tiga hari dari sekarang. Kalian bisa pergi setelah itu." ujarnya muram.
"Tempat ini mengerikan." Aku tak tahan lagi untuk berucap.
"Aku tak akan mempermasalahkan perkataanmu, tapi lain kali jangan ucapkan itu di hadapan vampir lain." cibir Bellida.
Aku melirik Bell dengan tatapan mencemooh, aku tahu dia sependapat denganku. Ini bukan kisah akhir yang akan membahagiakan untuk pernikahan mereka.
Tok, tok, tok....
Kubuka pintu kamar, di sana berdiri seorang pelayan lain dengan manekin tanpa kepala di sebelahnya. Ah, gaun pengantin Bell. Kupersilakan pelayan itu masuk yang mana dia langsung menuju Bellida, tak menghiraukanku.