Un-Human Book. 1

P.W.Herlambang
Chapter #31

Bard

Larrick hanya memutar badannya dan melihat Pria Misterius itu berjalan melewatinya. Di dalam benaknya dia berdoa semoga teman-temannya sudah pergi dari semak-semak itu. Ketika Pria Misterius itu sudah di depan semak-semak, ia berdiam sebentar.

“Ha!” seru Pria Misterius itu sambil menyibakkan semak-semak di hadapannya dengan Rapier miliknya. Terlihat dia diam sejenak beberapa detik, berbalik arah dan berjalan ke arah Larrick.

“Bagaimana Tuan?” tanya Larrick.

“Sepertinya aku tadi salah dengar” kata Pria Misterius dengan masih merasa curiga. Terlihat Larrick dan Pria Misterius itu berbincang-bincang.


Disisi lain, Kairnt, Hemia dan Tsibil berhasil berpindah tempat tak jauh dari sebelumnya. 

“Fyuh... Syukurlah kita tidak ketahuan” kata Kairnt.

“Pelankan suaramu! Sepertinya dia peka dengan suara”

“Lebih baik kita pakai isyarat tanda saja untuk berkomunikasi” ucap Tsibil. Kairnt dan Hemia mengangguk paham.


Tak lama, terlihat Larrick dan Pria Misterius itu mendekati pintu Bangunan Terbengkalai itu. Karena jarak yang semakin jauh, Tsibil mengajak Kairnt dan Hemia dengan isyarat tangannya untuk mengendap-endap ke tempat persembunyian yang lebih dekat dari Larrick dan Pria Misterius itu. Sayangnya, ketika mulai mengendap-endap, tak sengaja Tsibil menginjak sebuah ranting dan menimbulkan suara yang terdengar cukup sampai telinga Pria Misterius itu. Tak disangka, Pria Misterius itu langsung berlari sekuat tenaga sambil memegang Rapier di tangan kanannya, sesampainya di dekat arah suara ia pun melompat dan menusukkan Rapier miliknya.


“Tang!” suara dua besi beradu, yang ternyata adalah Tsibil yang berhasil menangkis tusukan Rapier milik Pria Misterius dengan Rapier miliknya.

Melompat ke belakang. “Heh, sepertinya instingku benar” ucap Pria Misterius ini.

Berdiri. “Hah..., sepertinya sudah ketahuan ya” kata Tsibil yang masih berdiri di antara semak-semak dan pepohonan.

“Belum semua sepertinya”

“Keluarlah!” seru Pria Misterius. Suaranya nyaring terdengar.


Keadaan menjadi hening, hanya terdengar hembusan angin yang daun-daun di area sekitar menari di cerahnya pancaran sinar hangat. Merasa tak ada pilihan lain, Hemia dengan tangannya diangkat ke udara, beranjak dari tempatnya.

“Tenanglah, kami bukan musuh!” seru Hemia sambil berjalan maju. Terlihatlah wajah Hemia yang dengan rambut orangenya disinari oleh sinar mentari pagi, semakin membuat auranya menjadi cerah.

“Nona kacamata yang terlihat cerah, bolehkah aku mengetahui namamu?” tanya Galahad dengan nada lembut dan elegan.

“Eh, namaku Hemia” jawab Hemia dengan heran.

Lihat selengkapnya