MINHYUK berdiri diam di depan rak penyimpanan abu dalam gedung krematorium itu. Sejak tadi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya memandangi foto seorang wanita berambut pendek yang—tersenyum menghadap kamera—diletakkan di samping wadah abu.
Cukup lama Minhyuk terpengkur di sana. Sampai kemudian satu tangannya terulur membuka pintu rak dan meletakkan setangkai krisan yang dibawanya.
“Harusnya kau tidak pergi malam itu,” lirih Minhyuk mengenang kembali peristiwa delapan belas tahun lalu itu.
Masih segar dalam ingatan Minhyuk malam itu ketika ibunya pergi dari rumah. Padahal ia sudah berusaha mencegah, tetapi ibunya seolah tidak peduli. Ayahnya yang murka dengan cepat menahan dirinya yang hendak mengejar, lalu menguncinya dalam kamar.
Satu jam kemudian mereka mendapat kabar dari kepolisian bahwa ibunya mengalami kecelakaan mobil dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Singkatnya, Minhyuk melihat ibunya sudah terbaring kaku ketika ia dan ayahnya tiba di ruang jenazah. Tapi Minhyuk tidak menangis saat itu. Ia hanya memandangi jasad ibunya dengan wajah datar. Seakan air matanya sudah terkuras habis menangisi kepergian ibunya dari rumah satu jam yang lalu.
“Orang ini ada di mobil yang sama dengan istri Anda saat kecelakaan terjadi.”
Minhyuk menoleh ke asal suara dan melihat seorang petugas polisi sedang berbicara serius dengan ayahnya. Ia pun mengalihkan pandangan ke jenazah satunya yang terletak persis di samping ibunya. Jenazah seorang pria. Kira-kira seumuran dengan ayahnya.
“Apa dia tidak memiliki keluarga?” tanya ayahnya.
“Dia punya seorang putri berusia tujuh tahun,” jelas si petugas. “Pihak kami sedang menjemput anak itu untuk dibawa kemari.”
“Bagaimana dengan istrinya?”
Minhyuk mendengar ayahnya bertanya lagi, tetapi ia tidak terlalu jelas mendengar jawaban si petugas karena sibuk memerhatikan jenazah di depannya. Ia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya.
Minhyuk mencoba mengingat-ingat dimana ia pernah bertemu wajah familiar itu. Dan ia terkesiap marah ketika akhirnya mengenalinya.
Pria ini adalah orang yang sama dengan pria yang ditemui ibunya. Tidak salah lagi. Kemungkinan besar orang inilah yang menyebabkan ibunya pergi dari rumah dan mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia.
Memikirkan kemungkinan itu membuat Minhyuk seketika diliputi kemarahan. Mata polosnya berkilat-kilat tajam. Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.