MINHYUK langsung mengedarkan pandangannya ke penjuru kedai begitu ia tiba. Mencari-cari keberadaan Kim Seola yang membuat janji temu di tempat ini dan menemukan gadis itu berada di meja dekat jendela.
Sebenarnya ia sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikannya. Ketika Seola menghubunginya pada dua jam yang lalu, ia masih berada di kantornya dan sedang membahas kerja sama dengan seorang investor. Ia pikir bisa menemui gadis itu tepat waktu. Nyatanya ia harus menempuh perjalanan lima belas menit untuk sampai ke alamat yang Seola kirimkan. Belum lagi ia harus berkeliling mencari tempat parkir karena tidak adanya ruang kosong untuk mobilnya. Sepertinya kedai tteokpokki¹ ini sangat populer.
“Maaf aku terlambat,” sapa Minhyuk ketika ia sudah tiba di meja Seola. Ia bisa melihat gadis itu agak terkejut melihat dirinya yang berkeringat banyak. “Ternyata jaraknya lebih jauh dari yang kuperkirakan dan aku tidak bisa menemukan tempat parkir di sini.”
Seola hanya mengangguk pelan. Sedikit merasa bersalah karena memilih tempat ini. Ketika Minhyuk menanyakan dimana mereka akan bertemu, hanya kedai ini yang terlintas di pikirannya.
“Ada yang ingin kubicarakan dengan Anda,” kata Seola sesaat setelah Minhyuk menenggak segelas air yang disediakan di sana.
“Sebelum itu, bisa kita makan dulu? Aku sudah lama tidak makan tteokpokki. Kau juga sepertinya belum memesan.”
Seola tidak menemukan nada memerintah dalam suara Minhyuk. Kali ini laki-laki itu memintanya dengan baik-baik. Mau tidak mau ia pun menurut. Mereka memesan satu porsi tteokpokki yang terbuat dari pasta kacang hitam karena Minhyuk tidak terlalu suka pedas.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Minhyuk sesaat sebelum menenggak air minumnya.
Mereka sudah selesai makan. Wajan yang tadi terisi penuh, kini hanya tersisa kuah dan potongan daun bawang. Kompor kecil yang digunakan untuk menyajikan tteokpokki tetap hangat juga sudah dimatikan. Saatnya bicara serius.
“Aku ingin Anda mengambil kembali semua barang pemberian Anda karena aku tidak membutuhkannya,” kata Seola to the point.
“Tapi temanmu membutuhkannya,” sahut Minhyuk ringan. Dalam benaknya terbayang wajah riang gadis penjaga toko bunga. “Dia bahkan sangat senang menerima semua itu.”
“Tapi aku tidak,” timpal Seola cepat. “Aku tidak membutuhkan apa pun dari Anda.”
“Ya.” Tiba-tiba Minhyuk menggamit satu tangan Seola di atas meja dan melihat gadis itu agak terkejut. “Apa sekali saja kau tidak bisa bersikap baik pada orang yang menyukaimu?”
“Tapi aku tidak menyukai Anda, Pak Kang,” lirih Seola frustrasi lalu menarik tangannya dan memalingkan pandangannya ke samping.
Tatapan Minhyuk berubah sendu. “Kenapa, Kim Seola? Apa begitu sulit melihatku?”
Seola membuka mulut hendak membantah, tapi lidahnya terasa berat. Kata-kata yang ingin diucapkannya seperti tertelan kembali di tenggorokan. Akhirnya ia hanya menghela napas dan berkata, “Sudahlah, Pak Kang, aku meminta Anda ke sini hanya untuk mengembalikan—”
“Kalau kau tidak suka buang saja!” sela Minhyuk cepat. Membuat Seola nyaris tersedak ludahnya sendiri.
“Anda sudah gila apa?” pekik Seola tidak habis pikir. Bagaimana bisa laki-laki ini menyuruhnya membuang barang-barang bernilai mahal itu dengan enteng? Apa semua orang kaya terbiasa bersikap sombong seperti ini, huh?
“Bukankah kau tidak mau menerimanya? Lalu untuk apaku barang-barang itu?” tandas Minhyuk telak.
“Kang Minhyuk Sajang-nim—”
“Aku benar-benar sibuk hari ini, Kim Seola,” potong Minhyuk dengan ekspresi kesal. “Kita bicarakan ini lagi nanti.” Bangkit dari tempat duduknya, lalu, “Tunggu di sini. Aku akan mengambil mobil.”
Dan Seola hanya bisa melongo memandang kepergian Minhyuk.