(Un)Privilege

Anindita Putri T
Chapter #5

Cerita 4: "Like a tail that comes at the end."

Semester 5 kulewati dengan, well, banyak rintangan. Judul skripsi yang selalu ditolak, dosen pembimbing (dosbing) yang tak pernah ada di tempat, hingga menipisnya uang untuk keperluan mencetak proposal tiap minggu. Semester ini aku harus menjalani masa KKN atau Kuliah Kerja Nyata. Masa yang, katanya, bisa membawa unforgettable happy memories atau unforgivable sad memories. Aku sih berharapnya yang aku dapatkan seimbang, ada senang dan ada sedihnya. Tak bersama Lisa pun tak jadi soal bagiku, toh di kemudian hari kami juga tidak selamanya bersama terus. Besok pagi aku dan seluruh teman satu angkatan harus datang ke kampus dan mengikuti serangkaian acara melelahkan untuk menentukan lokasi KKN. mungkin bisa sehari, seminggu, atau lebih. Tak ada lokasi spesifik yang kuinginkan, karena aku percaya dimanapun aku ditempatkan, disitu akan ada cerita baru untukku. Terbilang sebagai salah satu mahasiswa berprestasi, aku punya sebuah “kemewahan” untuk bisa memilih dimana aku akan ditempatkan. Kampus kami masih memakai sistem Live In, jadi kami akan tinggal di rumah penduduk desa setempat selama kurang lebih 3 bulan, memberdayakan sumber daya alam desa dan membuat laporan sesuai dengan jurusan kami. Pilihanku lumayan jauh dari rumah, hanya karena aku ingin mengunjungi tempat baru saja. Dari 3 desa yang kupilih, 2 diantaranya adalah desa yang paling jauh, dan 1 desa lainnya merupakan “cadangan” atau plan among the other plans, bukan rencanaku untuk ke desa itu karena tempatnya masih lumayan dekat dengan rumah.Sebut saja desa Anir, Desa Bayur, dan Desa Ciar. Pemilihan desa ini juga sebenarnya sudah dikonsultasikan dengan dosbing, mengingat aku mengejar gelar cum laude atau perfect score yang nantinya akan memudahkanku mendapat pekerjaan, little did I know, this doesn’t help, at all! But I’ll tell you later.

“Dit, kamu ambil di desa apa aja? Kita barengan ga??” tanya Lisa sambil bertukar form pengajuan tempat KKN denganku. Kami berdua mendapatkan kesempatan emas dan berharga ini. “Nih, kamu liat aja, siapa tau kita bisa barengan.” dan benar saja, kami memang tak terpisahkan. 2 diantara 3 desa pilihan kami sama. Hanya saja desa pilihan terbawahku menjadi desa pilihan teratas Lisa. “kok, kamu milih desa ini dibawah sih? Aku sengaja pilih paling atas soalnya deket rumahmu, lho.” tanya Lisa heran. “Nah, karena deket rumah, makanya kujadikan my last choice. Aku mau jalan-jalan lah, jangan main disekitar rumah doang” lagakku sombong. Aku memang termasuk orang yang mau pergi kemana aja. Menurutku, cewek ga harus diem dirumah atau cari tempat yang deket rumah, toh kita juga harus bisa mandiri, ‘kan? Bagiku pengalamanmu akan bertambah banyak seiring dengan bertambahnya jarak antara kamu dan rumahmu. Kamu dan orang tuamu. Entah itu pengalaman pahit, pengalaman hidup mandiri, atau mungkin, if you’re lucky enough, pengalaman baik yang akan kau rasakan setiap hari. “But you see, kita ga bisa jauh-jauh dari kampus, Dit. Kita ada jadwal konseling skripsi, trus magang di perpus, are you sure you can handle all of this?” tanya Lisa. Terselip sedikit keraguan setelah mendengar perkataan Lisa. “Hmm… iya sih. Tapi aku ga mau deket rumah, I just want to try something new, pergi ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Cuma ini, Sa, kesempatanku. Aku lulus bakal langsung cus dari sini. I want to live a decent life with a decent job.” Seenggaknya, my 22-years-old-self still have a dream to live on.

Hari itu para mahasiswa berprestasi dari seluruh Fakultas dikumpulkan di sebuah ruangan untuk melakukan pengumpulan form. Aku yang, well sometimes, memiliki tingkat percaya diri yang sangat tinggi ini yakin bahwa form-ku yang akan pertama kali dilihat dan disetujui. But I forgot that these dorks are way better than me. Mereka semua di ruangan ini adalah orang-orang yang bahkan lebih pintar dariku. Setelah 3 tahun berlalu, ingin rasanya kubentak diriku sendiri sambil berkata “YOU’RE NOTHING COMPARED TO THEM! WAKE UP AND STOP DAYDREAMING!”. Seorang pegawai, entah siapa dia, datang menghampiri kami semua yang sudah duduk rapih sesuai dengan fakultas kami masing masing dan memberikan petunjuk, “terima kasih teman-teman sudah meluangkan waktunya. Perlu teman-teman ketahui, kalian semua bisa ada di ruangan ini karena nilai dan hasil belajar kalian. Untuk mengapresiasinya, kami dari pihak Universitas akan memberikan kelonggaran bagi teman-teman untuk bisa memilih tempat KKN sesuai dengan yang kalian inginkan, dan seluruh jadwal akan langsung kami sampaikan sebelum mahasiswa lain. Untuk itu dengan tertib, masing-masing dari kalian bisa membawa form yang sudah diisi ke depan dan diletakkan diatas meja dekat buku biru itu. Dimulai dari baris terdepan dan seterusnya, ya. Silahkan.” ujar beliau sambil berjalan ke belakang meja dan duduk. 

Aku yang duduk di barisan keempat mengamati semua orang yang berjalan terlebih dahulu. Kedokteran. Stereotip kita terhadap mahasiswa kedokteran: either you’re tajir, or dipaksa orang tua buat masuk kedokteran, you know, cuma buat dipamerin pas ada gathering keluarga. Baris selanjutnya adalah mahasiswa Hukum. Pretty much same. Tajir, orang tuamu bergelut di bidang yang sama, atau kamu cuma pengen terlihat keren karena jurusanmu Hukum. Classic. Baris selanjutnya adalah Sosial-Politik. Anak-anak demo. Konon kabarnya mahasiswa di jurusan ini ibaratnya ‘kuliah asal masuk’. No proper lecturing session, dan nilai-nilai ya dongkrak, alias yang penting kamu absen, selesai. ‘Ah, they’re not on my class”, pikirku. Giliranku tiba. Ketika aku berjalan menuju meja, aku membayangkan semua orang sedang menatapku kagum, iri, dan benci. I feel like I’m the smartest here, dan inilah kesalahan terbesarku. “Kamu mahasiswa Ekonomi yang namanya Dita itu ya?” bapak pegawai yang memberikan pengumuman tadi, atau kusingkat saja pak kumis, -kumis beliau warna putih, sedangkan rambutnya hitam disemir- membuyarkan seluruh gambaran yang ada di otakku. “Iya pak, maaf ada apa ya, pak?” tanyaku sembari meletakkan form ditempatnya. “Oh tidak, saya dengar dari Pak Rio katanya kamu dan temanmu, Lisa, sering menggantikan beliau menjadi asisten dosen. Mungkin nanti itu bisa jadi referensi saya untuk pemilihan lokasi kalian.” dan seketika ruangan itu dipenuhi dengan gumaman dan bisik-bisik. Aku kembali ke tempat dudukku dengan perasaan tidak enak dan tetap berjalan and act as if everything is fine.

Setelah kurang lebih 20 menit berlalu, pak kumis tadi kembali ke depan ruangan dan memberikan instruksi tambahan. “Terima kasih semuanya, lokasi KKN kalian akan kami berikan paling lambat besok siang sebelum jam makan siang, mohon untuk merahasiakan list peserta KKN yang akan bersama-sama dengan kalian, jangan diberitahukan ke mahasiswa lain yang tidak berada di dalam ruangan ini. Kalian bisa pulang sekarang.” ujar beliau sambil keluar dan membawa forms yang telah terkumpul. Tiba-tiba seseorang datang dan menghampiriku, “hei, kamu Dita, ya. You’re quite popular here. Teman-temanku yang dari Ekonomi always talk about you. Aku Ria, by the way. Anak SosPol” ujar seorang perempuan berambut sebahu sambil menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman. “Eh hai Ria, nice to meet and know you too. Ehm, aku ga sepopuler itu sih, tapi makasih ya.” ujarku sambil menyambut genggamannya. “Iya sama-sama, aku disini bukan untuk berteman, kok. Cuma mau liat, sebenarnya kamu pinter beneran atau ga. Semoga kita satu tempat KKN, ya.” katanya sambil berlalu sinis. Ketiga temannya yang sedari tadi menunggu bak dayang-dayang terkikih kecil sambil menatapku sinis “eh katanya dia langganannya dosen, tau kan “langganan” gitu” ujar salah seorang dari mereka, cukup terdengar keras. “We’ll see, semoga aja ga bener ya.” ujar Ria sambil berlalu.

Perasaanku campur aduk tak karuan. Aku merasa semua mata memandangku seolah menyetujui apa yang telah Ria dan teman-temannya katakan. Tak ada pembelaan yang bisa keluar dari mulutku. Aku ingin menangis saja. “Hey Dit, yok makan aku laper banget, Mang Supri juga udah nyiapin nasi goreng nih duhhhh ayo nanti keburu dingin lho.” Lisa  menghampiriku dan menarik tanganku sambil berlari meninggalkan ruangan itu. At that time I’m so glad I had her on my side. Mungkin kalau tak ada Lisa, aku akan menangis sejadi-jadinya di dalam ruangan dan having a massive breakdown. Tapi sesuatu yang sangat menyesakkan tiba-tiba datang dan menggangguku. Pilihan tempat kami tidak sama. Kemungkinan kami akan terpisah sangat besar. Aku butuh seseorang yang kukenal. Aku butuh dukungan. I need her. Saat itu juga, seluruh penyesalan dan seluruh percakapan kami tentang lokasi KKN-ku datang memenuhi pikiran dan sangat menyesakkan, but it comes like something you bought in a hurry, like it comes like a tail, it comes at the end, and I regret everything that happened.

Lihat selengkapnya