Sudah 2 bulan setengah kami menjalani tugas Live In kami di desa ini. Sudah banyak sekali drama dan beragam pengalaman menarik. Tentu saja, aku dan Ria masih belum berteman dengan baik. Pembicaraan kami hanya sebatas projek bersama, tidak lebih, tapi masih banyak kurangnya. Banyak juga dari teman-teman kami yang ingin kami berteman dan berdamai sebelum kami meninggalkan desa ini. It’s fine for me, aku juga ga mau mendapatkan musuh di tahun-tahun terakhirku menjalani kehidupan perkuliahanku. Mungkin tidak bagi Ria. Teman-teman bercerita bahwa mereka sengaja membuatku dan Ria selalu berada dalam satu kelompok, karena mereka yakin kami akan menjadi teman yang baik dan problem solver yang mumpuni. Kuakui kemampuannya dalam memecahkan masalah sangat bagus. “Kita juga gatau, Dit kenapa si Ria masih ga mau temenan sama kamu. Menurut kami bukan kamu masalahnya disini.” ujar Doni, anak kedokteran yang selalu kubantu jika dia akan menghadapi anak kecil yang rewel hanya untuk diberikan imunisasi atau sekedar pemeriksaan gigi. “Yasudah, Don watak orang kan berbeda-beda.” ujarku sambil merapihkan kursi dan meja yang tadi kami gunakan untuk memeriksa tekanan darah para lansia di desa ini. “Tapi ga gitu, Dit, buktinya kamu bisa, lho, berteman dengan kami semua, walaupun pada awalnya kami juga mengira kalau kamu itu sombong karena diem terus, dan kemana-mana cuma sama Lisa.” Ega, anak kedokteran, menambahkan. I’m just a little bit awkward when it comes to new people, that’s all, batinku. “Ya udah, jangan ngomongin orang, ga bagus tau, selesain ini aja yok, aku laper nih belom makan siang.” ujarku sambil membereskan meja dan kursi yang kami gunakan.
“Dit, bisa ngobrol bentar, ga?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku, Ega, dan Doni. Yep, you’re guessing it right. Ria datang menghampiriku dan mengajakku bicara. “Ehmm… oke Ria, kenapa?” tanyaku sambil menghampirinya. Ria langsung membelakangiku dan berjalan menjauh. Seolah membaca sinyalnya, aku berjalan mengikutinya dari belakang. Aku mengikutinya hingga dia berhenti di samping balai desa. Setelah memastikan kalau tempatnya cukup sepi, dia memulai pembicaran kami. “You know I hate you, right? Kalo bukan karena disuruh sama Rio, mungkin aku ga mau ngomong sama kamu sekarang.” Aku kebingungan, menerka-nerka apa salahku, atau mungkin kami pernah bersama dan aku tidak mengingatnya, entahlah. “Kamu tuh gampang banget, dasar golden spoon. Tempat KKN bisa seenaknya milih, semua orang kenal sama kamu. Kamu milih tempat yang jauh tapi kecewa dapet tempat yang deket rumahmu.” did she just say that I’m privileged? “Eh sorry ya Ria, kalo aku motong pembicaraanmu, tapi emang menurutmu aku privilege? No, I’m not. Kalo aku privilege mungkin aku ga bakal disini!” bentakku. “Ya, kamu punya pilihan. Inget pas kamu bisa dapet ijin seenaknya aja cuma untuk magang di perpus? Bahkan magang di perpus itu aja kamu beruntung bisa dapet!” Aku kesal bukan main. Semua yang sekarang kujalani adalah hasil kerja kerasku, bukan hasil dari golden spoon or whatever it is. “Aku ga mau debat disini. Kamu masih bisa ngeluh pas kamu dapet di tempat ini, sedangkan bagiku, aku sangat bersyukur bisa dapet disini. Kamu ga mikirin bimbingan skripsimu kan ketika kamu mau memilih lokasi? Not me. Semuanya kupikirkan dengan matang, it’s because I have no privilege. Aku minta maaf kalo kata-kataku kasar, but I hate you.” dan Ria pergi meninggalkanku dengan berbagai macam pertanyaan.
******