“Dit, kamu tolong kerjain projek yang ini ya.” ujar salah seorang atasanku. “Maaf bu, tapi untuk software design yang ini masih belum saya kuasai, bu.” ujarku jujur, karena aku, once again, belajar semuanya sendiri, hingga graphic design. “Ah kamu bisa lihat di internet, cari lah, be creative! Saya tunggu dua hari dari sekarang, ya” Yap, semua tentang pekerjaan yang harus kukerjakan diluar job desc ku adalah BE CREATIVE. Aku kembali ke ruanganku dengan perasaan sedih, marah, kesal. Campur aduk. Kenapa tidak ada pelajaran ‘cara menghadapi atasan yang ga tau kondisi bawahannya’ pada saat aku kuliah dulu? “Dit, disuruh kerjaan aneh-aneh lagi ya, sama bu Sinta?” tanya Tara, teman seperjuanganku disini. “Iya Tar, duh aku pusing. Ini software belum pernah kusentuh sama sekali, photoshop aja baru kemarin, sekarang aku harus bikin pake yang ini secara spesifik gitu.” ujarku sambil menyodorkan kertas detail pekerjaan yang harus kuselesaikan dalam waktu dua hari. “Hah gila bener, trus ini harus selesai dua hari?” tanyanya kaget. “Iya, Tar. Kerjaanku masih banyak, belom waktu yang harus kugunakan untuk mempelajari semua software itu.” Sambil mengobrol dengan Tara, aku mencoba untuk mencari cara tercepat agar aku dapat menguasai software itu. “Good luck deh Dit. Kerjaanku juga lumayan banyak, kalo sempat kubantu ya nanti.”
Tara dan aku masuk ke tempat ini bersamaan. Jadwal wawancara kami selalu bersamaan, hingga hari kami diterima bekerja pun bersamaan. Motif Tara lebih santai daripadaku. Dia hanya ingin bekerja untuk membeli album penyanyi favoritnya dengan uangnya sendiri. Dia masih tinggal dengan orang tuanya, jadi seluruh biaya hidup masih ditanggung oleh orang tua yang masih bekerja. So lucky, batinku. Mungkin di dunia ini, aku ditakdirkan untuk tinggal dan bergabung dengan orang-orang privileged, yang mempunyai keberuntungan khusus hingga mereka tak pernah tau rasanya berjuang untuk hidup sambil mencari pengalaman. Lisa sudah lama tak menghubungiku, pekerjaannya yang padat membuat kami tak sempat untuk hannya sekedar bertukar cerita. Aku menghubungi orang tuaku hanya pada malam hari, hanya sekedar bertegur sapa dan menanyakan keadaan. Setiap kali aku mengerjakan pekerjaanku, yang kupikirkan hanyalah when will I leave this place and find a decent one. Walaupun mungkin aku harus menyelesaikannya setelah kontrak satu tahunku selesai. Sudah beberapa hari ini aku selalu mengingat kembali bagaimana enaknya menjadi seorang mahasiswi. Sedikit ada perasaan iri terhadap semua orang sebaya yang masih bisa menabung atau membeli barang mewah karena mereka tidak merantau sepertiku. Huh, privileged. Kalian belum merasakan gimana hidup susah dengan mengatur uang kalian sendiri. Kalian masih bergantung dengan orang tua, gaji kalian makan sendiri bukan untuk berbagi atau dibagi.
“Tar, kayaknya enak ya, jadi anak orang kaya. Dari lahir kebutuhannya terpenuhi. Mau sekolah dimana juga jadi, ga takut pinter atau nggaknya, pasti punya duit ya buat belajar disana-sini, belom lagi yang udah seumuran kita tapi kaya raya dan punya kerjaan, duit dimakan sendiri.” ujarku sambil berandai-andai. “Nggak gitu juga, Dit. Semua orang kan punya rejekinya masing-masing” ujar Tara. Benar juga apa yang dikatakan oleh Tara, tapi apakah dunia akan setidak-adil ini dengan memberikan kesempatan lebih besar kepada para anak yang lahir dengan golden spoon dimulutnya? Atau yang termasuk kedalam golongan privileged? Jalan mereka mulus, tanpa hambatan. They can do anything they want. Sedangkan tidak denganku. “No, Tar, maksudku mereka tuh kayak dapet semuanya, punya semuanya, kerjapun dipakai buat diri sendiri entah itu untuk nabung, atau foya-foya, atau bahkan ada beberapa orang yang bisa keduanya. Dunia tuh kayak ga adil, Tar. If you’re privileged, then you’ll find a good and smooth way.” ucapku kesal. “Kamu tau gak, Dit, kenapa kamu bisa punya pikiran seperti itu?” tanya Tara sambil menatapku, menantikan jawabanku. “Because I can’t stand it? Karena aku ga suka sesuatu yang ga adil?” jawabku jujur. “Nggak, Dit. Aku gak mau kasih tau alasannya kenapa, kamu pikirin dulu aja kenapa. Mungkin sebulan, dua bulan lagi akan terjawab semua, but before that, kita harus nyelesain projekmu. Kerjaanku udah selesai semua, sini kubantu, kamu kerjain aja yang kira-kira bisa kamu kerjain.” ujar Tara sambil mengambil kertas projek yang ada disamping laptopku.