(Un)Privilege

Anindita Putri T
Chapter #2

Cerita 1: "It"s easy, chill."

“Kalian lihat Dita! Nilainya bagus, dia selalu hadir tepat waktu di kelas saya, tugas selalu dikumpulkan tepat waktu dan tahu topik apa yang akan kita bahas hari ini. Kenapa kalian tidak bisa seperti dia?”. Kata-kata Pak Markus membuatku malu bukan kepalang. Pagi itu, kelas ketiga dalam semester kelima dimulai. Pak Markus yang terkenal dengan ketelitian dan kedisiplinannya membuat tak banyak orang yang ingin bergabung di kelasnya. Tentu saja, tidak denganku. Kuota kelasnya selalu kutunggu-tunggu, mengingat hanya beliau yang kuanggap cocok dengan cara belajarku. “Dita, minggu depan kau tak usah ikut ujian. Nilai kehadiran dan nilai tugasmu sudah memenuhi seluruh nilai bab 1. Kau boleh pulang duluan sekarang.” ucap Pak Markus. Sembari membereskan seluruh buku dan perlengkapan belajarku, kudengar seseorang berucap tepat di belakangku, “Dit, kamu dibayar berapa sama Pak Markus semalam?” dan terdengar suara tawa kecil dan sinis dari 4 orang. Pandangan orang tentangku memang beragam. Entah mereka pikir aku adalah cewek panggilan, walau tak sedikit dari teman-temanku yang mengakui usaha dan niat belajarku.

“Saya permisi dulu Pak, terima kasih.” ucapku sambil berlalu meninggalkan kelas. Mungkin kebanggaanku terhadap prestasiku di kelas tak bisa dihargai oleh semua orang, dan aku menghargainya. Bukan niatku untuk sombong, hanya saja prinsipku untuk menjadi seorang mahasiswa dan “menghabiskan” duit orang tua hanya untuk masa depanku memang bukan hal yang sepele bagiku. Aku berjalan di koridor depan kelas-kelas yang terisi penuh oleh kakak tingkatku, semua mata seperti sedang memperhatikanku dengan sinis, pikirku. “Dita, woy Dit tunggu!!”, suara familiar yang sangat kutunggu-tunggu. “Sa, sini cepetan I need you.” Lisa, temanku semasa OSPEK. Perkenalan kami terjadi karena sebuah kejadian tak terduga. Tas kami tertukar, name tag kami tertukar, dan akhirnya kami bertukar peran hingga OSPEK hampir selesai. Masa OSPEK kami diperpanjang karena Ketua Prodi kami merasa kami anak yang kreatif dengan bertukar peran, walau sebenarnya itu dilarang. “Kamu dikeluarin lagi dari kelas Pak Markus? Kenapa lagi sekarang? Tugas udah lengkap atau kamu ngejawab terus?” ujar Lisa sambil memberikanku sebungkus roti. Tau aja dia aku belum sarapan. “Worst, aku ngumpulin tugas DAN ngejawab terus.” sambil mengambil gigitan pertama untuk rotiku, hmm roti keju. Lisa memang terbaik. “Makanya, jadi anak jangan terlalu pinter!” ujarnya “lihat nih aku, dikeluarkan dari kelas karena bikin tugas kelompok!” ujarnya sambil mengeluarkan salinan laporan tugas kelompok dari tasnya. “eh, kok bisa? Kamu salah topik?” kami mengambil dua kursi dari ruangan kelas kosong sambil menunggu mata kuliah selanjutnya. “Nggak, sekelompok kemaren ga ada yang bisa dateng buat bikin soalnya pada liburan bareng, yaudah kukerjain aja” ujarnya “lah, trus kenapa kamu yang dikeluarin??” tambahku sambil menambah satu gigitan lagi. “Iya, kerja kelompok, tapi nama kelompoknya kuganti semua by Lisa Saraswati.” Tawa kami meledak. Ya, Lisa tak segan menambah atau mengurangi nama pada tugas kelompoknya. Dia memang anak yang cukup pintar dan strict sedari SMA, dengarku dari teman sekelasnya dulu yang kebetulan adalah teman sekelasku sekarang. Dia hampir sama denganku, walaupun dia lebih tak peduli dengan omongan orang. “Kamu bayangin ya, Dit, tugasnya itu 10 lembar, 20 halaman, dan beribu-ribu kata yang harus di review dan dipelajari. Tugas kelompok dibikin itu for a reason, karena kalo dikerjain sendiri ga bakal sanggup! Eh mereka dengan santainya nge-message aku kayak gini…” katanya sambil mengeluarkan hpnya, “‘... hai Sa, sorry hari ini kita lagi di pantai nih, kamu tolong kerjain aja ya, nanti bilang aja berapa duit buat semuanya, kita bakal bayar’ BAYAR, Dit! Trus aku bales kan ‘yaudah aku bikin, bayarannya besok aja, aku butuhnya cash, abis kelas Pak Rey aja’” . “trus kamu dapet nilai gak??” pertanyaan yang aneh. “IYA DONG, DIT! MANA MAU AKU KELUAR KALO GA DAPET NILAI!” teriaknya, membuat semua orang di sekeliling kami mengarahkan pandangan mereka menuju kami berdua.

Kelas kelima akan segera dimulai. Aku dan Lisa yang akan menjalani kelas berikutnya bersama masih tetap menunggu berakhirnya kelas keempat di luar kelas. Teman-temanku yang sudah diperbolehkan keluar oleh Pak Markus melirik sinis, dengan tatapan seperti biasanya. Bisa dibilang, aku sudah merasa familiar dengan tatapan-tatapan mereka. Bagiku, tatapan mereka hanya akan menjadi motivasi untukku. Prinsipku hanya satu, jangan sia-siakan duit orang tua. Papaku sudah pensiun, ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Uang pensiun papaku dijadikan toko kecil-kecilan dan usaha membuat kue ibu. Penghasilan kami tak menentu, terkadang ada, banyak sekali, atau bahkan tak ada sama sekali. Beruntungnya, papa sudah mempersiapkan semua biaya kuliah kami sejak dahulu, sehingga biaya pendidikan tinggi untuk ketiga anaknya sudah bisa dibilang, tercukupi, hingga salah satu dari kami sudah ada yang bisa menafkahi diri mereka sendiri. Rencanaku sih, dengan nilai-nilaiku ini, aku akan mencari beasiswa untuk melanjutkan ke semester yang lebih tinggi, supaya aku bisa meringankan beban orang tuaku. “Eh, Dit, mereka kenapa sih sama kamu? Kok kayaknya ga suka banget?” tanya Lisa, once again, lupa atau sebatas sarkas. “Yah Lis kamu kayak ga tau aja. Siapa sih yang ga benci sama aku? Aku cuma ngejalanin tugasku sebagai mahasiswa, malah kena getahnya. Ga ada yang nyuruh mereka buat males di kelas, lho.” ujarku. “Mungkin mereka udah terlalu kaya, Dit. Apalah kita yang serius kuliah dengan biaya pas-pasan ini.” Aku dan Lisa sama-sama berasal dari keluarga menengah kebawah. Sudah bisa berkuliah saja, kami sangat bersyukur. Kami tau, perjuangan orang tua kami setiap hari tidaklah mudah, makanya kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan dan orang tua kami untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan bukan hanya menjadi seorang “wanita”.

Wanita? Tak ada salahnya menjadi wanita yang bercita-cita untuk memiliki keluarga, dengan anak-anak yang lucu dan mengurus suami setiap hari. Tidak ada salahnya juga untuk menjadi wanita karir dengan pendidikan tinggi, dan tidak terlalu memikirkan untuk membangun sebuah keluarga. “Semua hal ada waktunya”, itu prinsip kami. Kami berdua memang dibesarkan dilingkungan keluarga yang agak mirip, mungkin itu juga yang menjadikan kami dekat. We’re connected. Ada satu benang yang tak terlihat yang menghubungkanku dengan Lisa. “Eh nanti temenin aku ke perpus ya” tanya Lisa buyarkan lamunanku. “Oh iya aku juga mau ke perpus nih, mau ngembaliin buku, trus mau pinjem lagi” “rajin amat jadi orang, aku aja cuma mau balikin buku” ledeknya. “Kita sama, Lis, sok rajin” ujarku, membuat tawa kami lepas sembari masuk ke kelas. “Nah, ini dia dua mahasiswa favorit saya. Lisa, Dita, hari ini kalian yang presentasi duluan.” ujar Pak Riki. Kelas belum dimulai, kami sudah menjadi musuh diantara para kakak kelas. Maklum, ini kelas tawar atas kami. Tapi tenang aja, jatah presentasi pertama means it will be easy, at least for today.

Lihat selengkapnya