Riani duduk di sudut kafe, sendirian. Tangannya melingkari segelas caramel macchiato dingin—favoritnya sejak dulu. Aroma kopi yang bercampur dengan manisnya karamel memenuhi inderanya, tapi entah kenapa hari ini rasanya berbeda. Biasanya, setiap tegukan kopi bisa membawa kenyamanan. Hari ini, hanya ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Di hadapannya, sebuah buku catatan A5 dengan sampul bergambar artis kesukaannya tergeletak tanpa tersentuh. Pulpen hitam yang biasa mengalirkan ide-ide fantasinya kini diam, seakan menunggu perintah yang tak kunjung datang. Riani menatap halaman kosong itu, merasa otaknya benar-benar buntu. Sudah beberapa waktu terakhir ia merasa kehilangan semangat menulis. Dunia fantasi yang selama ini menjadi pelariannya terasa hambar, seolah tak lagi bisa memberinya inspirasi.
Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela kafe, memperhatikan lalu lalang manusia yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Beberapa anak SMA bercanda tawa, berlarian di trotoar tanpa beban. Tak jauh dari sana, sekelompok pria berkumpul, berbincang hangat tentang hobi mereka. Kehangatan yang terpancar dari mereka perlahan menelusup ke dalam benaknya, membawanya kembali ke masa lalu—ke seseorang yang dulu selalu ada, tapi kini entah di mana.
Satu tahun.
Satu tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia berbicara dengan sahabatnya. Awalnya, Riani tidak menyadari jarak itu. Hari-harinya sibuk dengan menulis dan rutinitas, membuatnya tak sadar bahwa perlahan-lahan, komunikasi mereka terhenti. Tidak ada lagi pesan singkat menanyakan kabar, tidak ada lagi pertemuan tak terencana di kedai kopi favorit mereka.
Ketika akhirnya Riani menyadari keheningan itu, semuanya sudah terlambat. Sahabatnya menghilang, seolah ditelan bumi. Akun media sosialnya kosong, nomor ponselnya tak lagi aktif. Ia pernah mencoba mencari, tapi semua usaha itu hanya berujung pada kekecewaan. Tidak ada jejak, tidak ada tanda-tanda. Hanya sebuah keheningan yang semakin menyesakkan.
Dulu, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mengobrol tanpa batas, berbagi cerita hingga larut malam, atau sekadar duduk diam tanpa merasa canggung. Namun, perlahan sahabatnya mulai berubah. Ia lebih sering terdiam, lebih banyak tersenyum samar seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Riani tidak menyadari tanda-tanda itu. Ia tidak tahu bahwa sahabatnya sedang bertarung dengan sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia pahami.
Riani menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan yang sejak tadi memenuhi dadanya. Rindu. Perasaan itu menumpuk, semakin berat setiap harinya. Ia tahu, sahabatnya itu bukan tipe orang yang suka berbagi tentang dirinya. Selalu tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja, padahal di baliknya, ada luka yang tak pernah terlihat. Riani menyadari bahwa selama ini ia terlalu percaya pada senyuman itu. Ia mengira ia mengenal sahabatnya dengan baik, tapi kenyataannya, mungkin ia tidak tahu apa-apa.
Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya. Sebuah cerita. Bukan tentang dunia sihir atau petualangan seperti biasanya, tapi sesuatu yang lebih nyata. Lebih pribadi.
Ia akan menulis tentang sahabatnya. Tentang persahabatan yang perlahan merenggang. Tentang kata-kata yang tidak pernah terucap. Tentang luka-luka yang tidak pernah diceritakan. Mungkin, jika ia menuliskannya, sahabatnya akan membacanya. Mungkin, di balik layar, dengan akun anonim seperti dulu, sahabatnya akan menemukan kisah ini dan tahu bahwa ia masih ada di sini. Menunggu.