Riani terbangun dengan kepala yang terasa berat. Sisa kantuk masih melekat di kelopak matanya, sementara tubuhnya terasa lelah setelah semalaman terjaga. Entah sejak kapan ia tertidur—terakhir yang ia ingat, ia masih menatap langit-langit kamar, dihantui pikiran yang tak kunjung reda.
Dengan langkah gontai, ia menyeret kakinya menuju kamar mandi. Air dingin yang mengguyur wajahnya seolah menamparnya kembali ke realitas. Dia menatap bayangannya di cermin. Mata sembab. Wajah lelah. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang berkilat dalam tatapannya—tekad yang diam-diam menguat.
Setelah membersihkan diri, Riani menuju dapur dan menuang sereal ke dalam mangkuk. Suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkuk porselen menggema di ruangan sunyi. Sarapan sederhana ini bukan sekadar rutinitas; ini adalah titik awalnya. Hari ini, ia akan memulai sesuatu.
Di depan papan tulis besar di kamarnya, Riani berdiri diam. Tumpukan notes berisi serpihan cerita tergenggam di tangannya. Satu per satu ia tempelkan, merangkai potongan kenangan yang dulu terasa biasa—tapi kini, setiap detilnya memiliki makna. Adegan demi adegan terjalin dalam diam, membentuk peta perjalanan yang telah lama bersemayam di pikirannya.
Selesai.
Riani menarik napas dalam, menatap dinding penuh coretan itu. Jemarinya bergerak, menuliskan tiga hal yang akan menjadi fondasi kisahnya: logline, premis, dan outline.
Namun, begitu ketiga elemen itu tertulis, ia justru terdiam. Papan tulis di depannya kini penuh dengan serpihan ide—beberapa matang, beberapa masih menggantung tanpa kepastian. Ia membaca ulang logline yang baru saja ia buat.
Sesuatu terasa… kurang.
Riani menggigit ujung spidolnya, matanya menerawang. Apa yang salah? Ia menuliskan kembali premisnya di sebuah kertas kecil, mencoba mencerna arah cerita yang ingin ia bangun. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin samar makna yang ingin ia sampaikan.
Terlalu dramatis? Terlalu dibuat-buat? Atau justru terlalu jauh dari yang sebenarnya?
Frustrasi mulai merayap. Ia merebahkan kepala di meja, menghembuskan napas panjang. Tumpukan notes di sekelilingnya tampak seperti kepingan puzzle yang belum tersusun sempurna.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah buku tua yang tergeletak di pojok meja—buku yang sudah lama tak ia sentuh. Ia mengulurkan tangan, menariknya perlahan. Saat membuka halaman pertama, sebuah kalimat yang familiar menyambutnya:
"Semua kisah yang kita ceritakan adalah bayangan dari apa yang kita takuti dan rindukan."
Jantungnya berdegup lebih cepat. Bukan karena takut kisah ini terlalu dekat dengan kenyataan, tapi justru karena ia tahu—cerita ini adalah kenyataan. Ini kisahnya. Kisah mereka.
Yang ia takutkan adalah bagaimana menuliskannya. Bagaimana mengubah segala kenangan, tawa, luka, dan kehangatan itu menjadi rangkaian kata yang tak terdengar mengada-ada.
Karena ini bukan sekadar cerita. Ini adalah pesan. Sebuah pesan yang ingin ia sampaikan pada seseorang yang begitu berarti baginya.
Ia ingin sahabatnya tahu… bahwa setiap kata yang tertulis di sini adalah ketulusan. Tapi, bagaimana cara menuliskan ketulusan itu?
Riani menggenggam spidol di tangannya lebih erat. Matanya kembali menatap papan tulis.
Menuliskan cerita ini ternyata jauh lebih sulit dari yang ia kira.
Bukan karena ia tak tahu harus menulis apa, tapi karena setiap kata yang ingin ia rangkai terasa belum cukup untuk menggambarkan semuanya—persahabatan mereka, awal mula pertemuan, semua momen kecil yang dulu terasa biasa, tapi kini justru begitu berarti.
Riani menghela napas. Baiklah… mulai dari mana?
Tangannya bergerak, spidol hitamnya menyentuh kertas kosong di hadapannya.
"Hari itu, semuanya dimulai di sebuah kelas di sudut sekolah. Aku bahkan tak tahu kenapa aku berjalan ke arahnya. Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin, memang seharusnya begitu."
~
SMA - Awal Mula
Kelas baru, wajah-wajah baru, suasana yang masih terasa asing.