Hampir semua orang di sekolah mengenal Riani.
Dia pintar, supel, dan cantik. Sebagai anak tunggal dari ketua yayasan sekolah, namanya selalu diperbincangkan. Setiap sudut sekolah seakan mengenalnya—guru-guru yang bangga dengan prestasinya, siswa-siswa yang ingin dekat dengannya, bahkan kakak kelas yang sesekali melirik penasaran.
Riani tidak keberatan. Ia bukan tipe yang menutup diri atau memilih-milih teman. Ia selalu tersenyum, berbincang, dan menyapa siapa saja yang mendekat. Di mana pun ia berada, suasana pasti terasa lebih hidup.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di hatinya.
Semua orang ingin dekat dengannya, tapi tidak ada yang benar-benar membuatnya merasa memiliki ‘rumah’.
Mereka datang dengan berbagai alasan—ada yang ingin ikut terkenal, ada yang hanya ingin terlihat keren karena bisa bersamanya, bahkan ada yang sekadar ingin memanfaatkan posisinya. Riani menyadari itu semua, dan jujur saja, ia lelah.
Teman? Ia punya banyak.
Sahabat? Mungkin belum ada satu pun.
Sampai hari itu.
Hari di mana untuk pertama kalinya, bukan orang lain yang mendekatinya lebih dulu.
Tapi dia yang justru mendekat.
Kepada seseorang yang sama sekali tidak berusaha mencari perhatiannya.
Kepada seseorang yang, entah kenapa, terasa berbeda.
Alina.
Saat semua orang sibuk mendekatinya, Riani justru merasa tertarik pada gadis yang duduk diam di bangkunya, tenggelam dalam dunianya sendiri. Tidak ada sorot mata penuh ambisi, tidak ada ekspresi berlebihan seperti yang biasa ia temui.
Alina tidak mencoba terlihat akrab.
Tidak berusaha menarik perhatian.
Dan justru karena itu, Riani ingin mengenalnya lebih dalam.
Sesuatu dalam diri Alina menariknya begitu saja.
Tanpa rencana, tanpa alasan yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Mungkin, ini hanya sekadar rasa penasaran.
Atau mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.
~
Jam Istirahat
Alina menutup bekal makannya dengan rapi. Sesaat, ia melirik Riani yang masih duduk di sebelahnya, terlihat santai meski waktu istirahat hampir habis.
“Kamu nggak makan siang?” tanya Alina, suaranya lembut. “Bentar lagi jam masuk.”
Riani meregangkan tubuhnya sebelum menjawab, “Mau, tapi aku cuma mau beli camilan aja. Masih kenyang.”
Ia lalu berdiri dan menepuk pelan meja Alina. “Ayo, temenin ke kantin.”
Alina tidak langsung menjawab, hanya menghela napas sebelum akhirnya ikut berdiri dan mengikuti langkah Riani. Seperti biasa, Riani berjalan dengan penuh energi. Setiap melewati teman-teman yang dikenalnya, ia akan menyapa mereka, tersenyum, atau sekadar melambaikan tangan.
Sementara itu, Alina merasa semakin kecil di sampingnya.
Ia bisa merasakan tatapan dari berbagai arah. Tidak secara langsung, tapi cukup untuk membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.
Orang-orang melihat ke arah mereka.
Ke arah Riani.
Lalu ke arahnya.
Dan entah mengapa, Alina merasa seperti sebuah anomali di dalam gambaran sempurna itu.
“Ri,” Alina akhirnya membuka suara, suaranya sedikit ragu. “Aku balik ke kelas aja, ya.”
Riani berhenti melangkah, menatapnya dengan bingung. “Lho, kenapa?”
Alina menggigit bibirnya. “Kayaknya orang-orang nggak suka deh liat kamu jalan sama aku.”
Alih-alih terlihat peduli, Riani malah terkekeh. “Dah, biarin aja,” ujarnya santai. “Ngapain mikirin mereka?”
Alina menatap Riani yang masih tenang seolah tidak peduli dengan apa pun yang ada di sekelilingnya. Seakan semua tatapan itu sama sekali tidak berarti.
Dan mungkin memang begitu.
Bagi Riani, komentar atau pandangan orang lain bukanlah sesuatu yang bisa menghalangi langkahnya.
Alina diam sejenak, lalu akhirnya mengikuti Riani yang kembali berjalan ke kantin tanpa ragu sedikit pun.
Sesampainya di kantin, Riani langsung memesan beberapa camilan seperti yang ia katakan sebelumnya. Ia tidak butuh waktu lama, hanya mengambil beberapa roti dan susu kotak sebelum kembali berbalik menuju kelas.
Tidak ada yang menarik bagi Alina di kantin. Yang ada hanyalah tatapan, gumaman samar, dan sesekali lirikan yang membuatnya semakin ingin menghilang saja.
Namun, di antara semua itu, ada satu hal yang perlahan menyadarkannya.
Riani benar-benar tidak peduli.
Sama sekali.
Ia hanya menjadi dirinya sendiri.
Dan mungkin, berada di dekat seseorang seperti itu… tidak seburuk yang Alina kira.
~
Begitu sampai di kelas, Alina berniat kembali duduk di tempatnya, berharap bisa menghabiskan sisa waktu istirahat dengan tenang. Namun, belum sempat ia menarik kursinya, Riani sudah menepuk pundaknya dengan ringan.
“Eh, ikut ke rumahku nanti, yuk,” ajak Riani tanpa basa-basi.
Alina menoleh, sedikit terkejut. “Hah?”
“Ikut ke rumahku,” ulang Riani dengan nada yang lebih ceria. “Nggak ada alasan buat nolak. Pokoknya harus mau.”
Alina mengerjap. Tawaran itu terlalu tiba-tiba.
Ia belum tahu banyak tentang Riani. Ia bahkan belum sepenuhnya merasa nyaman dengan suasana di sekolah ini. Dan sekarang, tiba-tiba diajak main ke rumahnya?
“Aku…”
“Nggak pake tapi,” potong Riani cepat. “Kamu mau.”
Alina menatapnya. Riani tersenyum lebar, penuh keyakinan, seolah jawaban Alina sudah jelas sejak awal.
Dan pada akhirnya, Alina hanya bisa menghela napas pelan.
“…Oke.”