(Un)Released Feelings

solivagant
Chapter #4

Halaman Pertama - Bagian 3

POV ALINA

Memiliki ikatan yang dalam bukanlah sesuatu yang mudah bagi Alina. Sejak kecil, ia belajar bahwa menggantungkan harapan pada manusia hanya akan berujung pada kekecewaan. Berulang kali, ia disakiti oleh kenyataan, hingga hatinya membangun dinding tinggi, menghalangi siapa pun untuk masuk terlalu jauh.

Kekecewaan pertamanya datang dari sosok yang seharusnya menjadi pelindungnya—ayahnya. Pria itu, dengan wajah tampan dan kharisma yang memikat, memilih meninggalkan keluarganya demi kehidupan yang lebih gemerlap di sisi wanita lain. Alina masih mengingat dengan jelas bagaimana ibunya mencoba tersenyum di depan dirinya yang masih kecil, menyembunyikan air mata yang terus mengalir saat malam tiba.

Saat itu, ia masih terlalu muda untuk memahami. Tapi satu hal yang ia mengerti dengan pasti—kepergian ayahnya meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh sepenuhnya.

Sejak hari itu, ia berhenti berharap pada siapa pun. Tidak ada yang benar-benar bisa diandalkan. Tidak ada yang akan tetap tinggal.

Dan kini, di hadapannya ada Riani.

Gadis yang begitu berbeda darinya. Cerah, riang, dan penuh kehidupan. Seseorang yang memiliki segalanya—kepintaran, kecantikan, kehormatan, bahkan kasih sayang dari seorang ayah yang begitu hangat.

Riani datang dengan tangan terbuka, menawarkan sesuatu yang Alina sendiri ragu bisa diterima sepenuhnya.

Persahabatan.

Namun, meski hatinya ingin mempercayai, ada ketakutan yang masih mengendap di relung jiwanya. Bagaimana jika ini hanya sementara? Bagaimana jika Riani, seperti ayahnya, seperti orang-orang lain di masa lalunya, juga akan pergi suatu hari nanti?

Alina menghela napas pelan. Untuk saat ini, ia membiarkan Riani masuk—tapi hanya sedikit.

Tidak sepenuhnya.

Belum.

Karena luka yang pernah ada mengajarkannya satu hal: Jangan terlalu berharap, karena harapan yang terlalu tinggi hanya akan menjatuhkanmu lebih keras.

~

POV RIANI

Pemilihan Ketua Osis

Riani berdiri di tengah panggung aula dengan penuh percaya diri. Matanya tajam, suaranya tegas, setiap jawaban yang ia lontarkan dalam debat pemilihan ketua OSIS dipenuhi keyakinan. Tidak ada sedikit pun keraguan.

Sebagai anak ketua yayasan sekolah, ia tahu banyak yang meragukan dirinya—menganggap bahwa posisinya sudah pasti sejak awal. Tapi bagi Riani, ini bukan tentang latar belakang keluarganya. Ini tentang dirinya. Kemampuannya. Usahanya.

Debat pun selesai. Tepuk tangan mengiringi langkah Riani meninggalkan panggung. Ia mengembuskan napas lega, lalu matanya langsung mencari satu sosok yang selalu duduk di tempat yang sama—bangku paling belakang.

Di sana, Alina duduk dengan tenang, seperti biasa. Tidak ikut dalam keramaian, tidak berusaha menarik perhatian, hanya memperhatikannya dari jauh.

Riani berjalan menghampiri. “Udah beres nih, makan yuk ke kantin.”

Alina bangkit dari duduknya dan mengangguk. “Ayo.”

“Ke kelas dulu ambil bekal atau langsung kantin?” tanya Riani lagi.

“Langsung aja. Aku nggak bawa bekal, nggak sempat nyiapin,” jawab Alina santai.

Riani mengangguk, lalu menyesuaikan langkahnya dengan Alina. “By the way, tadi gimana penampilan debatku?” tanyanya penasaran.

Alina menoleh sebentar. “Seperti yang sudah kuduga. Keren. Kayaknya nggak perlu voting juga, pasti kamu yang menang.”

Riani menyipitkan mata. “Karena aku anak ketua yayasan?” tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit kesal.

Alina tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada lebih lembut, “Itu memang salah satu faktornya, tapi selain itu, kamu memang layak dan… kamu juga tahu itu, kan?”

Riani mendesah, tapi tak bisa membantah.

Alina saat ini tidak sependiam dulu. Setelah berbulan-bulan berteman, ia mulai membuka diri, setidaknya hanya kepada Riani. Dengan teman-temannya yang lain, ia masih sedingin dan sesenyap biasanya.

Sesampainya di kantin, Riani berkata, “Kamu cari tempat duduk aja. Aku pesenin makanan. Seperti biasa, kan?”

Lihat selengkapnya