(Un)Released Feelings

imseil
Chapter #5

Halaman Pertama - Bagian 4

POV RIANI

Dengan wajah serius dan mata yang penuh perhatian, Riani duduk tegak di kursi rapat, jari-jarinya sibuk mencatat setiap poin penting yang disampaikan ayahnya. Ruangan itu dipenuhi suara-suara diskusi antar eksekutif, namun fokus Riani hanya tertuju pada satu suara: suara ayahnya.

Ia mencatat dengan cekatan, tidak ingin melewatkan satu pun detail. Ini bukan sekadar latihan atau formalitas. Ini adalah bagian dari perjalanan yang telah ia pilih sendiri, perjalanan untuk suatu hari kelak menggantikan posisi sang ayah, bukan hanya sebagai pemimpin perusahaan, tetapi juga sebagai penerus nilai dan warisan kerja kerasnya.

Ayahnya, seorang pria yang dikenal disiplin dan berwibawa, tak pernah sekalipun memaksakan kehendaknya pada Riani. Ia membiarkan anak semata wayangnya itu tumbuh bebas, tapi tidak lepas. Membimbing tanpa mengekang. Mengarahkan tanpa mendikte.

Dan itulah mengapa Riani menghormatinya, bahkan lebih dari siapa pun di dunia ini.

Ketika rapat mulai mereda dan slide presentasi terakhir ditutup, suasana menjadi sedikit lebih santai. Ayahnya menoleh pada Riani, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tegas.

“Gimana?” tanyanya tenang. “Ada yang kamu tidak pahami?”

Riani menutup buku catatannya perlahan, lalu mengangkat wajahnya dan menatap ayahnya lurus-lurus.

“Sejauh ini belum ada,” jawabnya mantap. “Dan aku sepakat soal pengembangan program tempat les itu. Menyebarkannya ke berbagai kota bisa jadi langkah besar, asal eksekusinya tepat.”

Ayahnya mengangguk pelan, terlihat puas. “Tinggal mekanismenya ya. Proyeksi dan analisa risikonya harus kuat.”

“Iya. Nanti aku minta waktu buat bahas lebih detail sama tim legal dan marketing,” jawab Riani.

Ayahnya tertawa kecil, lalu bersandar di kursinya. “Kadang aku lupa kamu sudah sebesar ini.”

Riani ikut tertawa kecil. “Karena aku masih suka ngambek kalau makanan di rumah nggak sesuai selera?”

“Bukan itu,” sang ayah menggeleng sambil tersenyum, “karena kamu tetap anak kecilku, walau sebentar lagi mungkin kamu bakal jadi orang paling penting di perusahaan ini.”

Kata-kata itu membuat dada Riani terasa hangat. Ada rasa bangga, tapi juga haru.

Ia tahu, di luar sana, tidak semua orang menyukai keberadaannya. Beberapa kerabat dari keluarga besar memandangnya dengan tatapan curiga atau iri. Ia tahu, mereka menganggap dirinya hanya anak manja yang lahir dalam kemewahan.

Tapi apa pun anggapan mereka, Riani tetap berjalan. Ia memilih untuk tidak membalas dengan kata-kata, melainkan dengan bukti. Dengan dedikasi. Dengan cara menjadi manusia yang utuh kuat, tapi tetap tahu caranya menghargai.

Rapat pun berakhir. Saat semua mulai membereskan dokumen, sang ayah berdiri, menepuk lembut bahu Riani. “Good job, Nak. Kamu bikin Ayah lega.”

Riani tersenyum. “Aku belajar dari yang terbaik.”

Lihat selengkapnya