(Un)Released Feelings

imseil
Chapter #6

Halaman Pertama - Bagian 5

Kesibukan Riani sebagai ketua OSIS, ditambah tanggung jawab besar sebagai calon pewaris perusahaan ayahnya, membuat waktunya tersita habis-habisan. Pertemuan dengan Alina, sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, kini semakin jarang. Di sela-sela kesibukannya, Riani mulai memperhatikan satu hal: Raka, teman mereka, belakangan sering terlihat bersama Alina.

Riani tidak berniat menghalangi. Selama Raka tidak punya maksud buruk, ia memilih memberi ruang. Lagipula, ia percaya Alina cukup pintar untuk menjaga diri. Namun, dari jauh, Riani tetap memperhatikan setiap interaksi mereka. Ia tahu, sahabatnya mulai merasa nyaman berada di sekitar Raka—dan itu tidak masalah, asalkan semuanya tetap berada di jalur yang benar.

Meski tidak bisa selalu hadir di sisi Alina, Riani tetap berusaha melindunginya dengan cara yang ia bisa. Bahkan ia sudah menegaskan pada Raka, meski dengan nada bercanda yang dibungkus serius, untuk tidak bermain-main dengan sahabatnya. Bagi Riani, Alina adalah bagian penting dalam hidupnya, seseorang yang akan selalu ia jaga, meski dari kejauhan.

Kesibukan Riani sebagai ketua OSIS, ditambah tanggung jawabnya sebagai calon pewaris perusahaan ayahnya, membuat hari-harinya penuh sesak. Pertemuan dengan Alina, sahabat yang sudah seperti saudara, kini menjadi kemewahan yang jarang ia miliki. Jadwal rapat, tugas sekolah, dan urusan keluarga membuat Riani sering hanya bisa mengirim pesan singkat ketimbang bertatap muka.

Di sela-sela kesibukannya, Riani mulai memperhatikan satu hal: Raka, teman seangkatan mereka, belakangan kerap terlihat bersama Alina. Awalnya ia mencoba mengabaikan, meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan. Selama Raka tak punya niat buruk, ia memilih untuk tidak ikut campur. Namun, ada naluri protektif yang tak bisa ia hentikan. Apalagi sesekali ia menangkap senyum kecil di wajah Alina saat bersama Raka—senyum yang membuatnya sadar, sahabatnya itu mulai nyaman berada di dekat lelaki itu.

Meski jarang ada di sisinya, Riani tetap mengawasi dari jauh. Ia bahkan pernah memperingatkan Raka, dengan nada santai yang dibungkus serius, untuk tidak macam-macam. Bagi Riani, Alina bukan sekadar teman. Ia adalah bagian dari hidupnya yang tak boleh terluka.

POV Alina

Sejak Riani semakin sibuk, Alina mulai merasakan kesepian yang tak ia sadari sebelumnya. Riani biasanya selalu ada—menemani makan siang, mengobrol di sela jam pelajaran, atau sekadar berjalan pulang bersama. Kini, ia sering hanya melihat punggung sahabatnya itu dari kejauhan.

Alina tahu, dunia mereka berbeda. Tapi ia berusaha tak memikirkan hal itu terlalu dalam. Fokusnya kini adalah mempertahankan nilai akademik dan beasiswa yang menjadi harapan masa depannya.

Sore itu, ia duduk di taman sekolah, tenggelam dalam buku dan catatan. Udara hangat sore hari membawa sedikit rasa tenang, sampai sebuah suara memecah konsentrasinya.

“Sendirian aja? Boleh saya temani?”

Alina mengangkat wajah. Raka. Lelaki yang akhir-akhir ini sering muncul—kadang hanya menyapa, kadang membawa camilan lalu pergi.

Tanpa menunggu persetujuan, Raka duduk di depannya dan menatap wajah Alina.

“Kalau lagi serius gini… makin lucu, deh,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Lihat selengkapnya