Di sinilah Vega dan Sey berada. Di sebuah pasar malam yang tak jauh dari kompleks perumahan Sey. Vega sengaja mencari tempat yang tidak terlalu jauh, agar dirinya bisa bersama Sey lebih lama.
Melihat Sey tertawa lepas membuatnya bahagia. Sey berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil ketika dia berhasil melempar bola tepat sasaran.
"Lo mau coba gak Veg?" tanya Sey menyodorkan bola ke arah Vega.
Vega menggeleng. "Lo aja," jawab Vega.
"Lo aneh! Lo yang mau ditemenin, tapi gue yang ngerasa seneng!" omel Sey.
Vega tersenyum tipis. Melihat Vega tersenyum, Sey langsung salah tingkah. Apa-apaan ini! Ia tidak pernah seperti ini kalau mendapat senyuman dari orang-orang. Tapi kenapa, hanya dengan senyuman Vega dirinya sudah bertingkah bak orang gila?
"Ngeliat lo bahagia, gue ikut bahagia," ujar Vega.
"Huh?"
Vega mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Enggak, lupain."
"Lo bahagia ngeliat gue bahagia? Kenapa? Oh, iya... kata Pak Deden gue itu peri kebahagiaan," ujar Sey melantur.
Vega terkekeh pelan. "Siapa pak Deden?"
"Itu, yang jualan papeda di depan kompleks. Dia suka ngeramal orang loh," cerita Sey bersemangat.
Vega menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa mendengar Sey bercerita, ia ingin sekali tertawa. Mulutnya sedari tadi, menahan tawa. Ingin tertawa tapi gengsi.
"Iya lo emang peri kebahagiaan," gumam Vega, "eh, lo mau naik itu enggak?" Lanjutnya sambil menunjuk ke arah bianglala.
"Boleh. Ayok!" ucap Sey bersemangat sambil memeluk boneka yang ia dapat tadi.
Setelah Vega membeli tiket. Mereka berdua mengantre untuk masuk ke dalam bianglala. Jujur saja, terakhir naik bianglala kalau tidak salah waktu umur 5 tahun bersama abangnya dulu.
"Veg. Lo tau gak sih, gue suka banget naik bianglala dulu... gue suka naik sama abang gue," cerita Sey setelah bianglala terputar.
"Sekarang abang lo emang ke mana?" tanya Vega.
"Udah gak ada."
Vega diam, Sey sepertinya sangat sedih saat ia menanyakan hal itu. "Sorry Sey ... gue gak tahu," ucap Vega merasa bersalah.
Sey tersenyum. "Enggak papa kok. Kalau lo, lo pernah naik bianglala?" Sey kembali bertanya.
"Gue pernah. Bareng adek cewek gue dulu," jawab Vega.
"Adek lo umur berapa?"
"Sekarang mungkin udah 14 tahun."
"Oh ... adek lo pasti cantik banget. Eh, btw adek lo smp kelas 9 dong berarti?"
Vega tersenyum miris. "Adek gue udah gak ada."
Sey menatap Vega penuh dengan rasa bersalah. Mungkin, Vega sangat kesepian. Ramalannya ternyata benar, hidup Vega hampa dan penuh dengan kekosongan.
"Sorry. Nasib kita ternyata sama ya. Cuma bedanya, ya lo lebih bahagia," ucap Sey.
"Lo berkata seperti itu pasti karena harta? Denger Sey, harta tidak bisa menjamin kebahagiaan. Gue lebih baik hidup miskin tapi bahagia bersama keluarga gue daripada hidup dengan segelimang harta tapi gak bisa liat kebahagiaan," ucap Vega membuat batin Sey tertohok.
"Tapi gue gak punya dua-duanya Veg. Keluarga gue gak punya, begitu pun dengan harta."