Setelah pulang sekolah, Devi dan Vega memutuskan untuk berbicara empat mata. Di sebuah tempat yang tidak begitu ramai, tepatnya ruang perpustakaan. Biasanya, di jam segini ruang perpustakaan sepi.
Di hadapan mereka terdapat dua buku yang terbuka. Ini adalah bertujuan untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada yang datang. Devi mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja, matanya tak henti-henti menatap Vega dengan tatapan mengintimidasi.
"Kalau lo mau balas dendam jangan ke sahabat gue Veg," ucap Devi mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue gak balas dendam! Gue itu beneran cinta sama Sey!" tekan Vega.
"Bohong! Lo pembohong besar! Bales dendam ke gue aja Veg, luapin kemarahan lo! Luapin semua emosi lo ke gue tapi gue mohon, jangan ke sahabat gue," pinta Devi memohon dengan nada parau.
Vega menggeleng pelan. "Lo salah paham Dev. Gue udah gak pernah sangkut pautin masalah dulu sama sekarang. Asal lo tahu, gue emang benci lo! Tapi ... soal cinta gue ke Sey emang bener-bener tulus."
Devi menundukkan kepalanya sedih. Rasanya sangat menyesakkan mengingat kejadian dulu. ia hanya tidak ingin sahabatnya tersakiti karena kesalahannya dulu. Tidak! Ia tidak bisa menerima kalau Vega menjadikan Sey sebagai tombak balas dendam.
"Lo tenang aja Dev ... gue udah lupain kejadian dulu and so, lo gak usah takut gue bakal jadiin dia pelampiasan balas dendam," ucap Vega serius.
"Apa jaminannya kalau lo emang bener-bener gak akan jadiin dia tempat balas dendam lo?"
"Gue bakal ngehina diri gue sendiri di radio sekolah kita. Biar semuanya tahu, seberapa busuknya gue," ujar Vega.
Devi mengangguk, sepertinya ia akan mencoba percaya. Dia adalah ketua MPK, yang disegani dan dihormati oleh guru-guru dan banyak murid. Jika saja dia melakukan hal itu, bisa jadi image dia akan hancur dalam sekejap.
"Okey. Gue bakal biarin lo pacaran sama sahabat gue. Tapi ingat Veg... kalau sampai lo nyakitin dia. Gue yang bakal turun tangan," ancam Devi setelah itu dia pergi meninggalkan Vega sendirian.
***
Peluh keringat membanjiri pelipis Sey. Sedari tadi ia mengejar tukang papeda Pak Deden. Suaranya serak, terkuras memanggil nama Pak Deden. Ia berhenti, membungkukkan badannya. Menetralkan nafasnya yang memburu. Demi mendapatkan 2 gulung papeda, ia rela berlari-lari seperti ini.
Ia mendongkak, senyumnya mengembang tatkala sepeda ontel Pak Deden berhenti dijarak 10 meter. Sey kembali berlari, mengejar gerobak Pak Deden.
"Pak Deden!" panggil Sey sambil berlari mendekati gerobak kecil Pak Deden.
Pak Deden menoleh. "Loh, Neng Sey? Kenapa?"
"Hosh... hosh .... Pak Deden! Dari tadi Sey panggilin gak berhenti-berhenti!" Sey membungkukkan badannya kembali, bertumpu pada kedua lututnya.