Vega menoleh, menatap Sey yang sedari tadi menggembungkan pipinya menghadap ke jendela mobil. Ia terkekeh pelan. Otaknya berpikir keras, bagaimana caranya membuat Sey kembali ceria. Vega mengangguk paham, ia tahu sekarang.
"Sey, temenin gue makan yok. Tenang aja lo gue traktir," ajak Vega membuat Sey menoleh.
Wajah Sey seketika berseri namun sedetik kemudian dia kembali murung. Sepertinya dia sadar, kalau dia sedang merajuk.
"Gak. Gue mau pulang."
"Yah ... padahal makanannya enak-enak loh. Yaudah deh, kalau lo mau pul—"
Mata Sey membulat. Ia menggeleng, menatap Vega. "Jangan! Gue mau!"
Vega tertawa pelan. "Okay, kita ke sana sekarang."
***
Sey sangat meruntuki kebodohannya. Bagaimana bisa ia makan dengan sangat banyak hari ini? Bisa-bisa berat badannya bertambah 2 kali lipat. Sesudah ia makan bersama Vega tadi, ia memutuskan untuk pulang.
Tepat sekali saat Sey pulang ke rumah. Sepedanya sudah ada di depan rumahnya. Sey melebarkan matanya melihat ban belakang sepedanya masih kempes. Ia pikir Vega akan langsung menambalnya, tapi ternyata—oke mulai sekarang, Sey harus berpikir realistis. Tidak mungkin Vega bersikap seperti cowok-cowok pemaksa yang ada di novel-novel.
Tiba-tiba handphonenya berdenting, menandakan sebuah pesan masuk. Ia mengambil handphonenya di saku rok lalu mengeceknya. Bolehkah, Sey mengumpat sekarang? Jadi, Vega meminjam handphonenya tadi untuk ini? Menyimpan kontak dia dengan nama alay.
Pacar💕
Sengaja gw gak benerin sepeda butut lo. Besok gw jemput😈
Sapa lo
Setelah mengetikan ia langsung memblokir nomor Vega. Sey berdecih, nama kontak apa seperti itu? Pacar? Pakai love-love? Melihatnya saja rasanya ingin mual.
Sey melihat-lihat ke arah rumah Devi. Rumahnya tampak kosong tak berpenghuni. Ah, ia lupa kalau rumah Devi selalu seperti itu. Tapi, entah kenapa kali ini rumahnya terasa berbeda. Rumah dia seperti benar-benar kosong.
Handphonenya berdering. Ia melihat ke layar handphonenya. Terdapat nomor tak dikenal di sana. Sey sangat yakin sekali kalau itu adalah nomor Vega. Dengan malas, ia mengangkatnya.
"Halo Dek," sapa seseorang di serbang sana.
Deg
Sey terdiam, raut wajah yang semua biasa berubah menjadi dingin dan datar. Suara itu bagai petir menyambar di dalam tubuhnya. Ia merindukan suara itu, tapi ia tak mau semuanya tahu tentang keberadaannya.
"Hi, honey ... kau bisa mendengarkan suaraku?"