Sey benar-benar nekad, ia meloncat dari jendela rumah Devi. Wajahnya gelisah, keringat lelah dan ketakutan bercucuran menjadi satu. Ini sudah jauh dari rumah Devi, sekiranya lelaki itu tidak akan bisa menemukannya di sini. Iya jauh, saking jauhnya, ia tidak tahu saat ini dirinya sedang ada di mana.
Sey mengedarkan pandangannya. Sebuah permukiman yang sangat kumuh dan sepi. Pikiran negatif dan firasat buruk tiba-tiba menyerangnya. Permukiman ini sangat menyeramkan, ia tidak pernah sekali pun ke sini.
Saking takutnya Sey tidak mengingat dan memperhatikan jalanan. Bagaimana cara ia pulang kalau ia tidak tahu jalan pulang? Dan sialnya ia kenapa tidak membawa handphone.
Senyumnya mengembang, dikala ia melihat gerombolan laki-laki berjalan ke arahnya. Mungkin itu warga yang tinggal di sini. Sebaik mungkin pikirannya ia arahkan untuk tetap berpikir positif, walau orang-orang itu sangatlah menyeramkan.
"Hai Neng? Sendirian aja?"
"Iya. Abang tahu perumahan Gretaly?" tanya Sey mencoba untuk rileks.
"Ke rumah Abang aja mau?" tanya salah satu mereka sambil tertawa.
Setelah mengatakan hal itu, mereka semua mengelilinginya. Tawa meledek pun terdengar jelas di telinganya. Ia memang bisa ilmu bela diri, tapi kalau sebanyak ini? Sungguh ia tidak bisa melawan sebanyak ini. Mereka bermain secara keroyok, ia hanya seorang wanita dan tangannya hanya dua. Tidak bisa melawan mereka semua sekaligus.
Matanya menutup, ia berdoa semoga ada yang datang menolongnya. Saat ada yang menyentuhnya, ia langsung menangkisnya. Mereka tahu kekuatan Sey, langsung saja mereka bersekongkol memegangi kedua tangan Sey. Sey berontak, beberapa kali ia mencoba untuk menendang titik sensitif mereka tapi selalu gagal.
"Siapa pun! Tolong Sey! Tolong!"
"Kamu percuma saja berteriak. Tidak akan ada yang mendengarnya," ledek salah satu dari mereka.
"Tolong," batinnya lirih sambil menutup matanya.
TIN... TIN... TIN
Mereka berhenti, menatap sebuah mobil berhenti tepat di belakang mereka. Kelopak mata Sey membuka, melihat seseorang dengan gagahnya turun dari mobil.
"Vega?"
Wajahnya masih tertutup oleh silaunya cahaya lampu. Saat cahaya lampu mati, ia membelalakkan matanya. Bukan! Dia bukan Vega! Dia adalah lelaki yang ia takutin.
"Saya sudah menelpon polisi. Sebentar lagi para polisi akan menangkap kalian," ucap lelaki itu dengan tenang.