Sedari tadi Devi di sini menunggu seseorang datang, namun dirinya sudah menunggu 2 jam, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ia mengembuskan nafasnya, mengambil sebuah majalah untuk menghilangkan kejenuhan.
"Devi? Ngapain lo di sini?" tanya seseorang tak suka.
Devi mendongkak, menatap ke arah orang yang memanggilnya tadi. Raut wajahnya langsung semringah, akhirnya orang yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Vega, akhirnya lo dateng!" ucap Devi bersemangat.
Vega mendelik. "Kenapa?"
"Lo bisa gak? Ngobrol sama gue, sebentar aja," pinta Devi memohon pada Vega.
"Gak bisa! Gue capek, mau istirahat," tolak Vega tegas lantas pergi meninggalkan Devi. Baru beberapa langkah, Devi berlari menghentikan langkah Vega.
"Ayolah Vega! Gue cuma ngomong sebentar!" paksa Devi nyolot.
"Gue. Gak. Bisa!" tekan Vega galak.
"30 menit!"
"Gak! Minggir atau gue panggilin satpam!" ancam Vega sambil menepis tangan Devi yang menghalangi jalan Vega.
"Yaudah 15 menit!"
"Jangan paksa gue."
"Ini soal Sey!" teriak Devi membuat semua orang yang berada di lobby pun menatap ke arah mereka.
Vega diam, menyadari sesuatu. Ia mengedarkan pandangannya. Memang benar, kini semua orang menatapnya aneh. Devi menutup mulutnya. Semua orang mungkin kalau dirinya adalah cewek murahan yang memaksa-maksa seorang cowok untuk mengobrol. Ini adalah sebuah keuntungan bagi Vega dan kerugian ada pada dirinya. Bagaimana tidak? Semua orang menatapnya dengan tatapan menjijikkan.
"Ayo!"
Vega menarik lengan Devi keluar dari Lobby apartemen. Mencari-cari sebuah Cafe di dekat-dekat sini. Setelah menemukan Cafe yang cocok untuk dijadikan tempat mengobrol, ia dan Devi langsung masuk ke dalam Cafe.
"Lepas! Gue bisa sendiri!" Devi menghempaskan tangan Vega. "Gak di sekolah, gak di luar tetep aja kasar. Cocok banget lo jadi MPK," lanjutnya mencibir.
Vega duduk di salah satu kursi. "Kalau gak cocok, gue gak bakal jadi ketua MPK. Cepet! Apa? Gak usah terbelit-belit, langsung to the point aja," ketus Vega.
"Sebenernya gue mau tanya. Lo tau enggak? Sey kenapa? Akhir-akhir ini dia selalu ngehindarin gue. Kalau gue tanya selalu acuh. Sumpah, dia bener-bener nyebelin," cerita Devi menekankan kata 'nyebelin' sambil mengepalkan tangannya geram.
"Entah. Lo punya salah kali," jawab Vega acuh.
Devi terdiam, mungkin yang dibicarakan Vega benar. Bisa saja ia punya salah besar sampai dia untuk pertama kalinya bersikap seperti ini. Ia berpikir, apa salahnya? Apa Sey sudah tahu kalau sebenarnya dirinya menyukai Vega? Kepalanya menggeleng cepat, gak! Gak mungkin Sey tahu tentang rahasia ini.
"Jadi? Dia kayak gitu cuma ke gue," tunjuk Devi ke dirinya sendiri.
"Ke gue juga."
Devi mengembuskan nafasnya lega. Semoga saja, semua yang di pikirannya ini salah. "Jadi akhir-akhir ini gue sering liat dia pulang dianter sama temen kecilnya—“
"Apa!?" potongnya kaget, "temen kecil?" Lanjutnya bertanya.
"Cowoknya pernah ngobrol sama gue. Kata dia, dia itu temen kecilnya Sey. Ah entah, sumpah demi apa pun dia ganteng gila," puji Devi matanya menutup membayangkan cowok itu.
Vega mengusap wajahnya datar. Sepertinya dia tidak tahu kalau cowok itu kakak tirinya Sey. Jadi? Di sini siapa yang berbohong? Sey atau cowok itu?
"Gue ngerasa ada sesuatu Veg. Setiap kali Sey ada di deket cowok itu, muka Sey kusut. Dia, hm... mirip seperti boneka wayang." Devi kembali mengingat-ngingat kejadian saat Sey bertemu dengan lelaki itu.
Nah, tidak hanya dirinya tapi Devi pun merasakannya!