Sedari tadi, Ares berdecak sebal. Pasalnya pikiran negatif tentang adiknya kenapa-kenapa menyerang masuk ke dalam otaknya. Beda lagi dengan Vega, dia memang khawatir tapi dia bisa mengendalikan rasa khawatirnya.
Mobil berhenti di sisi jalan. Lokasi inilah, lokasi terakhir di mana adiknya menelepon Ares. Ares dan Vega turun dari mobil. Mata mereka berdua beredar, mencari-cari tanda keberadaan Sey.
Vega berjongkok, menemukan Handphone Sey yang sudah hancur lebur tak terbentuk. Kakak tiri Sey pasti melempar dengan sangat kencang. Sampai-sampai Handphone Sey tak terbentuk lagi.
"Handphone Sey?" tanya Ares menghampiri Vega.
Vega mengangguk. "Iya Kak. Dia sangat marah, sampai-sampai hapenya pecah seperti ini," jawab Vega melihat semua sisi Handphone Sey.
Ares berdecak. "Sekarang bagaimana caranya agar kita tahu Sey ada di mana. Sungguh, saya sangat khawatir sekali."
"Hm ... Kak? Bagaimana kalau Kakak menelepon kakak tirinya Sey. Setelah itu kita bisa lacak di mana keberadaan Sey," usul Vega dibalas anggukan menyetujui usul dari Vega.
"Good, saya akan menelepon dia sekarang." Ares mengeluarkan Handphonenya. Mencari-cari kontak Derel.
"Kak, sebaiknya Kakak menenangkan diri dulu. Jangan sampai dia curiga kalau Kakak sudah tahu semuanya," ucap Vega khawatir.
"It's Okay. Saya sudah tahu apa yang hendak saya lakukan," kata Ares sedari menempelkan Handphonenya ke telinga.
Tidak lama panggilan sudah terhubung, namun tidak ada suara apa pun di sana. "Halo Derel?"
"Hai Res, ada apa? Apa kau membutuhkan bantuanku?" tanya Derel di sana.
"Tidak Derel. Kapan kau pulang? Mama menanyakanmu," ujar Ares tenang sambil melirik Vega.
"Oh yeah. Saya tidak pulang selama seminggu ini. Saya titip salam pada Mama."
Ares diam, menahan emosi yang menggebu-gebu saat mendengar suara Derel. Apa dia bilang? Seminggu? Dia ingin melakukan apa pada adiknya sampai selama itu. Semoga saja pikiran anehnya tidak akan pernah terjadi.
"Kenapa selama itu Derel?"
"I'm sorry Ares. Ada sedikit pekerjaan yang mengharuskan aku meninggalkan rumah," jelas Derel dengan kelembutannya. Ares sekarang sudah muak dengan topeng yang digunakan Derel. Demi apa pun, setelah ia bertemu dengan Derel, ia akan menghajarnya habis-habisan.
"Ares?"
"Oke nanti saya sampaikan salammu pada Mama. Hati-hati," ucap Ares hendak mematikan panggilannya namun terdengar suara pekikan tertahan di sana. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Suara itu pasti suara Sey. Ya, ia yakin sekali kalau itu suara Sey.
"Ares?" panggil Derel.
"Suara apa itu Derel? Jangan bilang kau sedang bermain perempuan? Dengarlah! Keluarga kita itu terhormat, jangan kau melaku—"
"Ares tenanglah. Aku tidak bermain perempuan. Di sini sangat ramai."
"Ramai? Sekarang kau sedang ada di mana?" tanya Ares.
"Di lobby apartemen."
"Kau tidak akan macam-macam kan Derel?"
Derel terkekeh pelan. "Kau sangat posesif pada adikmu ya. Padahal saya cuma adik tirimu lo."
"Saya bukan posesif tapi khawatir. Yasudah, saya matikan."
Tut