Ares turun dari mobilnya tergesa-gesa. Ia tidak tahu bagaimana caranya masuk. Ini apartemen elite dengan keamanan ketat. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam apartemen. Kepalanya mengangguk singkat, sepertinya ia tahu bagaimana caranya ia masuk ke dalam apartemen.
Vega memandang apartemen itu dari bawah sampai atas. Sama seperti Ares, Vega juga memikirkan bagaimana caranya mereka masuk? Sedangkan pengamanan di sini saja sangat ketat.
"Kak? Bagaimana kita masuk?"
"Saya Kakaknya Derel. Mereka pasti akan mengizinkan kita masuk," jawab Ares. Dia melangkah kakinya menuju lobby apartemen diikuti Vega.
Sesampainya di lobby apartemen. Ares berdehem singkat, menyembunyikan rasa kekhawatirannya. Vega menoleh, menatap Ares.
"Kak, apakah kita bisa bertemu dengan Sey?" bisik Vega berbisik.
"Bisa. Bersikaplah tenang," balas Ares berbisik juga.
Sampailah di meja resepsionis, menampilkan seorang wanita muda tersenyum ramah. "Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?"
Ares mengangguk, mengeluarkan handphone dan menunjukan foto Sey. "Kau pernah melihat wanita ini?"
Resepsionis itu diam, seakan berpikir. "Tidak. Wanita itu tidak pernah datang ke sini. Maaf Tuan, apa urusan anda datang kemari?" tanya Resepsionis itu ramah namun tatapannya seperti sedang mengintimidasi.
Ares berdecak, resepsionis itu pasti sudah disuap Derel agar dia tidak memberitahukan apa pun tentang Derel. Ia kembali menggeser foto lainnya. Tampaklah sebuah foto Derel, yang diambil dari jarak dekat.
"Apa kau kenal dia?" tanya Ares lagi dijawab gelengan oleh Resepsionis.
"Wanita tadi itu adik kandung saya dan lelaki ini," ucap Ares sambil menunjuk foto Derel, " dia adik tiri saya. Dia ke sini hendak melecehkan adik kandung saya. Tolong, kau juga wanita pasti mengerti akan hal ini."
Resepsionis itu diam. "Melecehkan? Tuan Derel itu baik," selanya.
"Tolong Mba. Beritahu sekarang atau saya akan memanggil polisi agar nama baik apartemen ini tercemar. Bagaimana?"
"Baiklah. OB di sini akan menghantarkan kalian ke apartemennya. Teh Resty!" Resepsionis itu memanggil seorang OB.
"Ada apa Mba Aurel?" tanya OB itu.
"Antar mereka berdua ke pintu apartemen Tuan Derel," perintah Resepsionis. OB itu mengangguk, dia memberikan arahan pada Ares dan Vega.
Apartemen Derel terletak di lantai paling atas. Sangat mengerikan, bisa terbayang seorang gangguan jiwa memiliki apartemen paling atas. Beberapa kali Ares berdecak kesal, lift ini berjalan sangat lambat. Rasanya ia ingin terbang dan langsung masuk ke dalam apartemen Derel.
"Maaf Tuan, saya mau bertanya. Anda saudaranya Tuan Derel?" tanya OB itu takut-takut.
"Iya. Saya Kakaknya," jawab Ares.
"Oh ... saya sangat berterima kasih. Karena Tuan Derel-lah, anak saya bisa selamat. Saya benar-benar tidak pernah melihat malaikat sebaik Tuan Derel," cerita OB itu, matanya sudah berkaca-kaca.
Vega menatap Ares, sedangkan Ares hanya berdecih. Sebenarnya apa yang diinginkan dia? Dia bersikap sok malaikat pada orang lain. Sampai-sampai resepsionis dan OB ini membela dan memuji-muji dia.
"Bagian lantai teratas itu, sepenuhnya milik Tuan Derel. Tidak ada yang datang ke sini, karena Tuan Derel tidak suka kalau ada orang lain masuk ke area dia," jelas OB itu.
"Saya Kakaknya. Bukan orang lain," tekan Ares sedikit emosi.
"Maaf Tuan. Saya tahu, mangkanya saya menghantar Anda ke sini." Pintu lift terbuka. Ares dan Vega bergegas mencari pintu Derel.
"Maaf Teh. Boleh panggil saja Derelnya?" tanya Ares meminta, ia tahu jika ia yang memanggil maka Derel tidak akan membuka pintunya.
"Boleh," jawab OB itu, berdiri di depan pintu. Dia memencet bel pelan, sedikit mengetuk pintu apartemen milik Derel.
"Selamat malam Tuan, maaf mengganggu," ujar OB itu seakan tahu Derel ada di belakang pintu.
Derel membuka pintunya. Dia kaget saat melihat Ares dan Vega di sana. Walau kaget, wajah dia tetap terlihat tenang. "Ada apa Ares? Cowok tengil ini?" tanya Derel menatap Ares kemudian beralih menatap Vega.