Nyatanya Sey langsung pingsan di gendongan Derel waktu itu. Rapat keluarga diundur sampai besok pagi. Kondisi Sey yang lemah tak memungkinkan untuk melakukan rapat keluarga. Karena semua keputusan sekarang ada di tangan Sey.
Derel sedikit menyadari kalau sebuah hubungan tidak bisa dipaksakan. Apalagi dirinya yang selalu memaksa kehendak Sey. Cintanya melebihi obsesi. Ini sangatlah berbahaya, ia bingung kenapa dirinya menjadi sekejam ini.
Derel berjalan-jalan di jalanan yang sepi dan gelap. Dengan pencahayaan lampu remang-remang dan terangnya bulan bisa membuatnya melihat semua benda di sana. Udara dingin mampu menembus jaket tebalnya. Merenungkan kembali, apa yang telah ia lakukan.
Mungkin kalau dirinya berubah waktu itu, Sey akan menerimanya. Dengan senyuman tulus bukan Smirk yang mengisyaratkan sesuatu. Dari smirk itu, Sey sudah bisa menyimpulkan kalau dirinya masih sama seperti Derel yang dulu. Kalau saja dirinya dan Sey berdamai, mungkin ia bisa dengan mudah masuk ke dalam hati Sey tanpa paksaan. Sangat tidak mungkin jika Sey akan mengatakan kalau dia akan menerimanya. Dia sangat-sangat membenci dirinya.
Dengan wajah tenang, ia melewati beberapa gang sempit. Tak ada ketakutan sama sekali di dalam dirinya. Ia malah sengaja pergi ke sini untuk mencari preman sebagai pelampiasan.
"Tolo—hm!"
"Hiks ... jangan! Tolong!"
Derel menutup matanya pelan, mendengarkan dengan saksama suara gadis merintih itu. Ia mengangguk-anggukan kepalanya pelan, pantas saja preman itu sedang tidak ada ternyata mereka sedang memperkosa wanita.
Ia berjalan pelan mendekati suara itu. Jujur saja ia tidak ingin ikut campur masalah mereka. Tapi karena dirinya membutuhkan pelampiasan, kali ini Derel akan menghajarnya.
"Bagaimana menyenangkan? Kenapa saya tidak diajak?" tanya Derel membuat 3 preman itu menoleh. Mereka berdiri, ia dapat melihat gadis tengah bertelanjang dada.
"Kau ingin bergilir bersama kami?" tanya salah satunya.
Derel mengetuk-ketukan jari telunjuknya ke dagu. "Boleh, siapa dulu yang ingin ku habisi?"
"Habisi?" beo salah satunya.
Bugh
Derel meninju wajah salah satu preman itu. Preman yang lainnya tampak marah. Mereka mengerumuni Derel. Bukannya takut, lagi-lagi Derel menampilkan smirk. Tiga orang seperti mereka sama sekali lagi bukan saingannya. Mereka akan kalah dengan mudah. Kata siapa 3 lawan 1 yang menang 3? Seharusnya 3 lawan 1 yang menang adalah 1.
Beberapa kali Derel menghindari pukulan. Mereka mengeroyok Derel namun Derel masih bisa menahan serangan mereka bertiga. Dua diantara mereka sudah terkapar, terkena serangan Derel. Tinggal tersisa satu, wajahnya sudah babak belur.
Bugh
Sekali serangan, preman itu langsung limbung dan jatuh ke bawah. Derel mengusap rambutnya. Ini bahkan belum apa-apa dan mereka langsung terkapar. Padahal Derel masih belum puas memukul orang. Karena itulah Derel menarik baju salah satu preman itu ke atas kemudian meninju perutnya bertubi-tubi.
"Ma-maaf. Ka-kami akan pergi," ucap preman itu dengan suara bergetar.
"Pergi? Enak sekali kau berbicara seperti itu?"
"Maaf tolong biarkan kami pergi," timpal preman yang lain, bertubuh kurus dan rambutnya merah.
"Hitungan ke tiga kalian harus pergi!" perintah Derel mengangkat jari telunjuknya.
"Satu!"
"Dua!"
"Ti—"
"Kabur!" Para preman itu berlari terbirit-birit. Bagaimana caranya mereka bisa berlari sedangkan mereka sudah babak belur.