Seminggu setelah pulangnya Derel, dia sering sekali pergi-pergian keluar rumah. Betapa kesalnya Ares saat tahu Derel kembali lagi ke rumah ini. Ribuan kali ia mengancam Derel agar dia tidak mengganggu adiknya lagi. Derel membalas ancaman Ares dengan anggukan dan senyuman. Dia berjanji di depan ayah kandungnya sendiri kalau dia tidak akan mengganggu Sey lagi.
Saat ini dia—Derelio diam di dalam mobil. Menunggu seseorang keluar dari gerbang sekolah. Tidak lama, gerbang terbuka menampilkan dua orang yang sedang tertawa riang. Dua orang itu adalah Sey dan Devi. Mereka menghampiri mobilnya.
"Hai Kak, apa kabar?"
"I'm fine Sey."
Sey mengangguk-anggukan kepalanya. "Kakak mau ketemu sama Devi, kan? Nih Devi udah ada di sini. Kalau gitu, Sey pergi dulu ya... Bye!" Sey melambaikan tangannya lantas pergi meninggalkan mereka berdua.
Devi gugup, matanya masih menatap punggung Sey yang semakin lama semakin menjauh. Sebelum Sey masuk ke dalam mobil. Ia menggigit bibir bawahnya. 3 hari yang lalu ia nekat untuk menemui Derel di rumah Ibu kandung Sey. Membawakan beberapa makanan yang ia masak sendiri. Entah masakannya enak atau tidak, setelah mengantarkan makanan itu Devi langsung pergi begitu saja.
"Kenapa kau diam di sana? Masuklah!" titah Derel mengangkat dagunya ke samping.
Devi tersentak, cepat-cepat ia masuk ke dalam mobil. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ia mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke wajah, berusaha untuk menghilangkan rasa nervous pada dirinya.
"Kau kepanasan?" tanya Derel sambil menaikkan suhu AC dalam mobil.
Devi menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak kok, cuma pengen ... pengen...," ucap Devi menggantung.
"Pengen apa?"
"Pengen kibas-kibas. Jari-jari Devi pegel," jawab Devi kembali mengibas-ngibaskan tangannya.
Derel mengangguk, dia menjalankan mobilnya. Dalam perjalanan mereka berdua diam. Tidak ada yang berbicara satu pun. Devi menggigit bibir bawahnya, ia tidak menginginkan suasana seperti ini. Sudah dua bulan ia menunggu kepulangan Derel, masa hanya seperti ini.
"Kemarin thanks ya makanannya," ucap Derel mencarikan suasana.
Devi menatap Derel. "Ma-makanannya enak gak kak? Pasti asin ya? Atau kurang garem?"
Derel menggeleng pelan. "Enak kok. Tapi kenapa kamu pergi gitu aja? Padahal saya ingin makan sama kamu loh."
"Huh? Ka—Kak mau makan sama aku?" tanya Devi tak percaya. Semakin lama jantungnya semakin berdetak semakin cepat.
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Eh, enggak papa. Malah Devi seneng, nanti deh Devi masakin lagi buat Kakak." Devi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Derel diam sejenak, fokus ke kemudi. "Kamu suka sama saya?"
Devi diam, bagaimana Derel bisa tahu kalau dirinya menyukai Derel. Padahal ia tidak pernah mengatakan apa pun pada Derel. "Ba-bagaimana Kakak bisa tahu?"
"Tahu aja."
"I-iya. Devi suka sama Kak Derel," ucapnya jujur setelah itu kepalanya menunduk.
"Kau tidak takut?"
"Takut kenapa Kak?" tanya Devi polos.
"Seperti Sey? Begini Dev, bukannya saya tidak ingin kau mencintai saya tapi kau tahu kan? Saya sedikit aneh," ujar Derel menekankan kata 'aneh'.
"Devi yakin Kakak baik. Entah kenapa Devi berpikiran seperti itu walau Devi tahu apa yang Kakak lakukan pada Sey."
Derel tersenyum tipis. "Itu hanya pendapatmu Dev. Kenyataannya adalah saya memang jahat."
"Justru itu, Devi ingin mengenal Kak Derel lebih jauh lagi."
"Kau siap?"
"Si-siap apa Kak?" tanya Devi gugup.
"Siap jika sewaktu saya mencintaimu, kalau kau tidak bisa lepas?" tanya Derel horor membuat nyali Devi menciut.
"Maksudnya Kak?"
"Jika saya sudah mencintai satu orang maka cinta itu akan bercampur bersama obsesi, posesif, dan masih banyak keburukan lainnya. Sebelum kau mengenal saya dan ingin mencoba masuk ke dalam hati saya maka itu frekuensinya. Kau boleh mundur dan lupakan saya."
Devi diam mengulangi kata tiap kata yang diucapkan oleh Derel. Ia mengembuskan nafasnya. "Iya. Devi akan menerima kelebihan dan kekurangan Kakak."
"Saya akan mencoba untuk mencintaimu. Tenang saja, saya masih menghormati derajat perempuan. Saya bukan pria—“