"Siapakah ksatria di sana itu?" Aimara menghadapkan tubuhnya pada sosok pria yang bersama dengan kudanya di kejauhan.
Keempat pelayannya saling tatap sambil menggeleng. "Kami tidak mengenalinya sebagai ksatria wilayah Tengah, Tuan Putri."
Aimara menyentuh dagunya, masih menatap ksatria di pinggir sungai. Rumbai gaunnya berkibar diterpa angin. Rambut pirang pria itu turut bergerak diterpa angin. Ksatria itu mengelus kudanya yang mencicipi air sungai yang jernih.
Saat Ksatria itu berbalik, mata mereka bertemu.
Aimara menutup mulutnya tak percaya.
Aditi yang ada di dalam tubuh Aimara terkesima hingga kelewatan memuji diri sendiri karena telah menciptakan tokoh sepertinya. Ksatria itu merupakan sosok pria rupawan dengan wajah tirus dan hidung mancungnya. Manusia paling tampan yang pernah Aditi saksikan.
Saat Aimara mengangkat pandangan, dia terkejut melihat ksatria itu sudah berjarak lima langkah di hadapannya.
Ksatria itu berjongkok dan menengadahkan satu tangannya.
Aimara tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Ksatria itu mencium lembut punggung tangan Aimara. "Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Putri Aimara."
"Ksatria mengenal saya?" tanya Aimara heran.
Ksatria itu tersenyum. "Adalah pengetahuan umum bagi setiap orang di kerajaan untuk mengenal seorang bangsawan berbudi seperti Tuan Putri."
"Berdirilah, Tuan Ksatria." Aimara menyudahi salam hormat ksatria itu. "Aku baru pertama kali melihatmu. Bisa kau perkenalkan dirimu?"
Ksatria itu berdiri dan menempelkan tangan kanannya ke dada kiri. "Nama saya Abel. Saya adalah ksatria dari wilayah Barat Daya yang baru tiba di wilayah ini dua minggu yang lalu."
Aimara mengangguk paham. "Jika boleh tahu, apa tujuan Tuan kemari?"
Abel menurunkan tangannya dari dada. "Saya berkelana sembari mengasah kemampuan saya, Tuan Putri."
Aimara kembali mengangguk. "Selamat datang di wilayah Tengah kami, Tuan Abel. Semoga Tuan bisa memenuhi tujuan selama berada di sini."
Abel membungkuk 30 derajat. "Terima kasih atas sambutannya, Tuan Putri."
Dari pertemuan manis di pagi itu, Aditi telah berhasil menjalankan alur ceritanya sebagaimana yang dia mau.
Dengan wujud Aimara dan citra yang dia lanjutkan meniru pemiliknya yang asli, tak sulit untuk menarik perhatian Abel agar selalu mendampinginya. Mereka berdua melanjutkan perjalanan ke taman bunga hydrangea berdua, tanpa ditemani oleh pelayan.
Cahaya jingga menyilaukan menelisik dari balik awan. Abel mendongak ke arah barat. Matanya menyipit melihat langit.
"Tuan Putri, matahari hampir terbenam. Pastilah Tuan Putri merasa lelah setelah berkegiatan seharian." Abel meletakkan tangan kanannya di dada, mengutarakan pikirannya dengan berat.
Aimara menggeleng. "Kegiatanku hari ini tidak semelelahkan yang kau pikir, Tuan Ksatria. Justru, aku yakin kegiatan latihan ksatriamu lah yang lebih melelahkan. Aku harus meminta maaf karena telah menyita waktumu seharian ini untuk menemaniku."
Abel melebarkan mata menatap putri di depannya. Senyumnya mengembang setelah menyadari sesuatu. Dia menggeleng cepat. "Tolong, Tuan Putri, jangan merasa terbebani karena pendatang seperti saya."
Aimara berbalik ke arah Abel dan menyatukan tangan di dada. "Setiap manusia punya nilai yang sama, Tuan Ksatria. Tidak perlu merendahkan diri hanya untuk menunjukkan rasa hormat pada orang lain. Waktu yang kita habiskan bersama memiliki bobot keberhargaan yang sama. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu hari ini."
Abel tersenyum mengiyakan pernyataan Sang Putri.
"Tuan Putri, bersediakah Anda ke taman bunga dahlia bersama saya besok?"
Aimara melebarkan mata. Abel menutup mata dan perlahan membuang wajah dengan perasaan menyesal dan malu.
"Maaf, Tuan Putri. Mungkin saya terlalu-"
"Baik. Sampai jumpa besok, Tuan."
Jawaban Aimara membuat Abel terkesiap.
Aimara berjalan ke arah dia datang, menghampiri pelayannya yang terlihat bersorak tanpa suara.