Unauthorized Life

Ajeng Meira
Chapter #4

3

Aditi terbangun gara-gara mendengar suara berisik dari depan kamarnya. Dia mengobrak-abrik rambutnya dan bangkit. Tangannya terkepal seiring langkahnya berhambur menuju pintu kamar. Saat dia melewati cermin, langkahnya terhenti. 

Wajahnya yang mulanya seperti orang kesetanan menjadi lembut dan manis setelah sedikit penyesuaian.

Aimara membuka pintu kamarnya. "Ada apa ini?"

Empat pelayan di depan kamarnya berhenti berjalan seperti setrika dan membisu. Mereka berempat saling berpandangan sebelum kembali menatap Aimara. Wajah mereka berempat sama pucatnya.

"Pelayan?" Aimara menaikkan satu alis.

"T-tuan Putri...." Pelayan yang biasanya tersenyum dengan kalem terbata-bata.

Pelayan yang biasa memilihkan gaun dengan heboh menggigit jemarinya sendiri. Dua pelayan yang biasa memuji setiap tindak-tanduk Aimara menutup mata dan menunduk. Tak ada satu pun yang terlihat bisa menjelaskan situasi mereka hingga bersikap seperti sekarang.

"Tolong jelaskan apa alasan kalian terlihat seperti sekarang," perintah Aimara dengan nada rendah mengintimidasi.

Mereka berempat bertatapan. Tiga orang pelayan tak sanggup bicara, mereka hanya menggeleng ke arah pelayan yang sedikit membuka bibirnya.

Aimara melipat tangan, memasang telinga baik-baik untuk apapun yang keluar dari bibir pelayan itu.

"T-tuan ksatria Abel ditemukan tewas di taman dahlia pagi ini," jelas pelayan.

Pagi itu langit gelap keabu-abuan, tak seperti kemarin. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Cahaya mentari yang biasanya menelisik masuk melewati jendela kaca istana kini tak lagi terlihat. Hawa dingin lembap yang dibawa hujan di kejauhan merasuki kulit para penghuni istana. Awan mendung menelan terang yang tersisa di langit, menyisakan satu-satunya kilat sebagai sumber cahaya.

Kepala Aimara seperti pecah. Tenaganya menguap tak bersisa, membuatnya jatuh bersimpuh. Para pelayan menangkapnya dam terus memanggil namanya. Pandangan Aimara kabur karena air menumpuk di pelupuk matanya. 

Aimara dan Aditi menangis bersamaan pada hari itu.

Aimara mengangkat telapak tangannya. Dia melihatnya dan menggenggamnya sekuat tenaga.

Pelayannya menangis tersedu-sedu untuknya. Mereka menggenggam tangan Aditi yang terkepal dan berkali-kali menyemangatinya dengan kata-kata indah.

Aimara mengigit bibirnya. Pundaknya terasa berat.

"Putri, kuatkan diri. Kami bersama Tuan Putri."

Aimara memegangi kepalanya yang terasa sangat berat. Napasnya habis padahal dia tak sedang berlari.

Hujan turun tepat di atas wilayah Tengah, sangat deras hingga bisa meredam suara apapun di atas tanah. Kilat menerjang masuk jendela kaca, membuat orang-orang berjengit kaget dan takut. Orang-orang yang berada di luar ruangan berlarian untuk meneduh. Sedangkan beberapa orang yang sudah berada di tempat yang teduh, justru kehujanan.

Suara para pelayan bersahutan memanggil nama tuan putrinya, tapi Aditi tak punya kekuatan untuk merespon mereka.

***

Hujan deras berakhir dalam beberapa jam. Tanah yang mulanya kering menjadi becek dan penuh genangan. Udara yang diangkut angin terasa basah dan berat, membuat hawa menjadi dua kali lebih dingin dan menggetarkan dari biasanya.

Lihat selengkapnya