Aditi menggerakkan lengannya yang kesemutan karena dijadikan bantal untuk tidur di atas meja. Saat dia mendengar suara besi jatuh, dia seketika terduduk bangun. Dia menoleh ke bawah, mendapati gunting yang sempat dipikirkannya untuk mengakhiri hidupnya. Dia menepuk dadanya untuk menenangkan degup jantungnya yang memburu karena bangun tiba-tiba.
Aditi meraih gunting itu dan menatapnya. Sambil menggeleng dengan senyuman percaya diri, dia meletakkan gunting itu ke dalam laci. "Kau tahu, itu bukan gayamu."
Aditi menoleh ke arah jendela.
"Sudah pagi rupanya!" Aditi menepuk tangan dan berlari ke jendela. Tubuhnya dibanjiri hangat sinar mentari. "Aku tidak takut pada siapapun. Aku akan menaklukkan takdirku!"
Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Aditi menoleh ke sumber suara. Dia menelan ludah kesusahan. Rasa takut tak beralasan itu masih ada di dalam hatinya, tapi dia tetap memberanikan diri bergerak ke arah pintu.
Ketukan pintu itu terdengar lagi. Aditi berdiri di belakang pintu kamarnya.
"Ayo kita jalankan seperti biasanya dulu!" semangatnya pada diri sendiri.
Aditi menyiapkan wajah Aimara yang biasanya. Dia menempelkan badan ke pintu. Tangannya menarik gagang pintu kamar perlahan tapi pasti.
"Putri, waktunya sarapan," ucap pelayan dengan wajah kalem sambil memegang nampan berisi roti lapis dan minuman.
Aimara membuka pintu kamarnya dan duduk bersimpuh di depan pelayan itu. "Aku benar-benar minta maaf sudah mengusir kalian kemarin. Itu seperti bukan diriku sendiri, tapi aku benar-benar menyesalinya."
"P-putri? Tidak apa, tolong berdirilah, Tuan Putri." Pelayan dengan wajah kalem itu gelagapan.
Aimara mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap pelayan itu. Dia mengamati wajah pelayannya yang terlihat kaget karena tindakannya.
Aditi yakin dirinya sudah bersikap sebagaimana Aimara lakukan, tapi dia tak menyangka pelayan itu akan memakluminya secepat ini.
Aimara berdiri dengan susah payah dan menghembus napas. "Terima kasih sudah mengantarkan sarapanku. Letakkan saja di mejaku."
Pelayan itu masuk ke kamar dan meletakkan sarapan Aimara di meja kecil sebelah kasurnya.
Setelah meletakkan sarapan, pelayan itu mundur.
Aimara meraih pisau roti dan memotong roti lapisnya menjadi beberapa bagian. Bau harum mentega dan daging di roti lapisnya membuatnya tersenyum sambil menggigit bibir. Dia menjilat bibirnya sendiri karena kelaparan sejak kemarin. Aditi melakukannya membelakangi pelayan untuk menjaga citra Aimara yang sempurna.
"Tuan Putri pasti sedih karena ksatria itu meninggal, ya?"
Gerakan tangan Aimara terhenti dan menoleh. "Apa maksudmu—"
Pelayan kalem itu yang memegang setangkai bunga dahlia layu. Wajahnya tersenyum tipis.
Aditi terbelalak menyadari bunga dahlia itu adalah bunga pemberian Abel untuknya.
"Darimana kau mendapatkannya?!"
Aditi mendapatkan sendiri jawabannya setelah melihat ke arah laci meja riasnya yang terbuka.
"Apa perlu saya ambilkan yang terkena darahnya dari taman? Paling tidak itu lebih segar daripada yang layu ini."
Sosok pelayannya yang kalem berubah wujud menjadi seorang wanita muda berambut merah pendek dengan wajah culas. Dia berjalan mendekati Aimara.
Aimara berteriak dalam kepala Aditi. Putri lemah lembut itu mengenali sosok itu lebih cepat dari sarafnya yang mengirim sinyal bahaya ke otaknya. Karena kehadiran sosok itu adalah suatu bentuk bencana dalam kehidupannya.