"Kenapa aku menciptakan karakter ayah Aimara untuk membenci anak perempuannya sendiri?" eluh Aditi sedang menulis sendirian di kamarnya.
Dia menatap meja rias yang berwarna lebih gelap dari miliknya di kamar sebelumnya.
"Aku bahkan sangat sayang ayah di kehidupanku sebelumnya. Darimana aku bisa dapat inspirasi karakter ayah semacam itu?"
Aditi menggeleng sambil membaca ulang tulisan di buku catatannya.
"Yang Mulia, Tuan Tiran, Sang Penguasa Tanah, atau ayah Aimara. Dia orang yang kejam. Dia tak menyukai Aimara karena yang dia harapkan adalah seorang anak laki-laki. Setelah istrinya melahirkan Aimara, dia mulai menjaga jarak dengan keduanya. Aimara dirawat sendirian oleh ibunya hingga ibunya meninggal. Karena itulah Aimara tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang lemah lembut."
Aditi tersenyum setelah membaca kalimat terakhir. Namun, ekspresinya sekejap berubah menjadi bingung.
"Ada yang terlewat dari intuisiku."
Aditi menoleh ke arah jendelanya yang terbuka lebar. Langit cerah, sedikit berawan. Angin menggoyangkan gorden tebalnya. Aditi menyipit tajam seolah melihat ada musuh di luar jendelanya. "Sesuatu yang belum kutentukan di novel asli sudah ditentukan lebih dulu di sini. Apa ini plothole?"
Aditi membuat garis bibirnya melengkung ganjil dan berdiri dari tempat duduk. Dia menunjuk ke arah langit dengan pena-nya.
"Apapun itu aku akan menakhlukkan cerita ini. Lihat saja."
Aditi berbalik dan kembali menulis hal apa yang telah diketahuinya sejauh ini.
Aditi ingin menambahkan beberapa rencana untuk kehidupannya ke depannya. Namun, dia merasa buntu. Halangan writer's block menyerangnya walaupun dia tak lagi menulis novel. Dia mengangkat dua tangan menyerah, memasukkan buku catatannya ke dalam laci.
Karena merasa kesepian, Aditi memanggil Izy masuk ke kamar untuk mengajaknya berbincang.
"Izy, bagaimana pemakaman pelayan senior itu?" singgung Aditi.
Izy menoleh terkejut. Dia meniti ekspresi Aditi cukup lama.
"Pemakamannya berlangsung lancar, Tuan Putri."
Aditi mengangguk lega. "Baguslah."
Kamar itu kembali lengang. Aditi fokus bermain-main dengan rambut panjangnya, mencoba untuk mengepangnya. Sementara Izy nampak duduk kaku di dekat Aditi.
"Tuan Putri ingin melihatnya sebentar?" tawar Izy.
Aditi menoleh cepat.
Izy menggeleng sekaligus melambai. "L-lupakan perkataan saya, Tuan Putri. Saya tidak-"
"Kau mau menemaniku?" pinta Aditi.
Izy melebarkan mata. Tangannya yang tadinya melambai terhenti dengan kaku.
Aditi dibantu untuk membersihkan diri dan memilihkan pakaian yang cocok.
Penampilan Aditi tampak jauh berbeda dengan Aimara yang biasanya. Rambutnya yang biasanya terjuntai indah bergelombang kini terikat rapi. Gaunnya yang biasanya berumbai dan warna-warni kini lebih sederhana dengan warna hitam.
Aditi melihat cerminan dirinya di cermin rias sambil tersenyum percaya diri. Dia memiringkan badannya ke kanan dan kiri untuk mengagumi lekuk tubuhnya.
"Ini baru terlihat lebih seperti diriku."
"Tuan Putri ingin membawa bunga untuk diletakkan di makam?" tawar Izy.
Aditi menoleh. "Menurutmu? Apa lagi yang akan kulakukan di makam jika bukan meletakkan bunga?"
Izy membungkuk sebagai permintaan maaf dan berlari keluar kamar untuk mencari bunga.
Setelah semuanya siap, Aditi membuka pintu kamarnya. Dua pengawal di sisi kanan dan kiri menatapnya terkejut.
"Kalian berdua ikutlah denganku. Aku ingin pergi ke makam pelayan senior itu." Aditi memegang seikat bunga di tengah badannya.