Ruangan kamar Aditi remang-remang. Hanya ada sedikit pencahayaan dari bulan yang kini tertutup awan.
Aditi meremas telapak tangannya yang mengeluarkan keringat dingin. Berjam-jam lamanya dia hanya duduk di kasur dengan wajah gelisah.
Dengan mengembus napas berat, Aditi beranjak dari kasurnya. Suasana hatinya enggan membuatnya bergerak, tapi rasa paranoidnya yang lebih besar berhasil mengalahkannya.
Aditi duduk di depan meja riasnya. Dahinya mengernyit melihat bayangan di cermin yang sedang menggigit bibir. Dia memukul dadanya pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang jauh dari kata normal. Matanya yang resah terlihat jelas di dalam cermin.
Apa yang terjadi hari ini baru mengetuk pintu di ruang kesadarannya.
Aditi meremas kepalanya dengan kedua tangan. "Ayah pasti akan membunuhku."
Aditi mengernyit keberatan. "Kenapa aku memanggilnya ayah? Dia kan ayahnya Aimara, bukan ayahku."
Aditi menggeleng cepat dan menampar wajahnya. "Kenapa kau malah memedulikan itu? Tidak penting dia ayahnya siapa. Kalau dia bisa membunuhmu, kau tetap akan mati!"
Suara gaduh terdengar dari balik pintu kamar, jauh dari posisi Aditi sekarang. Detak jantung Aditi yang tidak normal makin menjadi-jadi. Kegaduhan itu terdengar semakin jelas dalam waktu singkat.
Aditi mengambil gunting dari lacinya dan memasukkannya di antara rongga dua gagang pintunya. Dia melangkah cepat menuju lemari dan menarik jubah yang pertama dilihatnya. Segenggam uang pun tak luput dari penglihatannya.
Sesaat sebelum Aditi menuju balkon, dia berhenti dan melihat ke arah meja, fokus pada buku catatannya.
Aditi menarik napas. Dia mengambil pena dan menyobek halaman kosong.
"Anggap saja aku sudah mati."
Aditi meninggalkan kertas itu di atas mejanya dan menyembunyikan buku catatannya ke dalam jubah.
Pintu kamar Aditi dibuka tanpa permisi, tapi daun pintunya tak bergerak sedikitpun. Gunting yang diletakkannya tadi berusaha sekuat tenaga memberi Aditi waktu. Terdengar suara erangan di balik pintu yang berusaha membuka paksa pintu kamar itu.
Aditi melangkahkan kakinya menaiki pagar balkon.
"Seharusnya pintu ini tidak punya kunci."
Suara rendah yang familiar itu membuat Aditi hampir membatalkan niatnya. Namun, setelah mengingat julukan dan perlakuannya pada Aimara sejauh ini, Aditi memutuskan tetap melompat dari balkon lantai 2. Dia bukan ayahku.
Aditi berhasil mendarat tanpa terluka. Di kegelapan malam, dia bersembunyi melewati penjaga dengan bersembunyi di balik pepohonan dan tanaman besar yang memiliki berbagai bentuk bidang. Otak Aditi berputar keras berusaha mengingat kembali denah istana Aimara yang digambarkannya di novel. Penjaga masih berjaga, tak ada celah.
Aditi menarik tubuhnya di balik sebuah pilar, menunggu waktu dengan sabar.
Seorang penjaga bersenjata sedang berjalan mondar-mandir seperti setrika, mengamankan wilayah jaganya.
Jari Aditi menghitung mengikuti langkah kaki si penjaga. Saat penjaga itu membelakanginya, Aditi melangkah secepat mungkin tanpa suara.
Istana memiliki gerbang utama yang dijaga oleh dua orang tanpa pernah kosong sedetik pun. Aditi menjentikkan jari ketika mengingat sebuah pintu yang sering digunakan Aimara untuk diam-diam pergi ke pasar.
Episode itu sudah terjadi di awal-awal novel. Aimara yang terkenal baik di mata para penjaga membuat dirinya dibiarkan berkeliaran ke mana pun dia mau begitu saja. Selain karena ayahnya tak mempedulikan dirinya, penjaga pun tidak mengkhawatirkan apa tujuan Aimara karena dia seringkali hanya ingin bertemu orang-orang.
Namun, Aimara yang sekarang sudah berubah.
Aditi berlari melewati taman istana yang gelap sambil berharap bahwa pintu itu masih ada di sana dan tanpa penjagaan. Dia bersyukur karena kamar barunya terletak di sayap kiri istana. Jika dia masih memakai kamar lamanya di sayap kanan istana, maka dia harus berlari jauh menyeberangi taman.
Pintu itu masih ada di sana. Masih berdiri tanpa penjagaan sedikit pun. Aditi tersenyum lega dan pergi keluar dari istana melewati pintu itu.
Begitu melewati pintu, hal pertama yang dilihat Aditi adalah hutan gelap. Jika Aimara dulu menggunakan pintu ini di pagi atau siang hari, dia bisa pergi melewati hutan bersama pelayannya sebentar karena hutan ini berbatasan dengan pasar penduduk. Berbeda halnya jika sudah malam hari. Tak ada yang tahu bahaya macam apa yang siap mengintai.
Aditi menghamburkan langkahnya masuk ke dalam hutan, mengabaikan kekhawatirannya.
Begitu keluar dari istana yang notabene-nya adalah rumah Aimara, Aditi menyentuh dadanya yang terasa kosong. Wajahnya memanas, air matanya mengalir tanpa dia inginkan. Dia menggigit bibirnya untuk menahan suara sesenggukannya. Walau begitu, dia terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
"Maafkan aku. Aku memang tidak berguna, Ayah."
Jiwa Aimara meronta-ronta. Aditi mengusap matanya cepat karena pandangannya mengabur dengan banyaknya air di pelupuk mata.
"Aku menghancurkan kehidupan yang sudah berjalan dengan baik ."
Aditi hendak mendebat dirinya sendiri karena mengatakan sesuatu yang tak ingin dia katakan, tapi perasaan di hatinya memaksanya untuk tidak menyangkal. Perasaan itu nyata. Ini adalah perasaan yang selama ini Aimara pendam, lebih dari apa yang dipikirkan Aditi selagi menulis novelnya.
Suara ayah Aimara yang marah sekaligus gelisah ketika berusaha membuka pintu kamar terngiang di kepala Aditi.