Di bawah pohon besar yang mendapat seberkas cahaya bulan, dua orang duduk dengan terpaut jarak yang agak jauh. Satu adalah seorang gadis muda yang menangis tersedu-sedu. Satu lagi seorang ksatria berzirah perak yang terlihat depresi. Selama dua puluh menit, kondisi itu berlalu begitu saja.
Albert memijit bagian tengah alisnya lelah.
"Nona, tolong berhenti menangis. Apa yang membuatmu bisa berhenti menangis? Saya baru keluar dari pertapaan dan sudah harus mengalami ujian seberat menyebabkan seorang perempuan menangis. Tolong angkat beban itu dari hidup saya." Albert menutup wajahnya frustasi.
Aditi mengusap air mata dan mengelap ingusnya.
"Berikan aku senjata."
Albert mengangkat kedua alisnya mendengarkan permintaan tidak masuk akal Aditi setelah berhenti menangis dalam sekelebat mata.
"Senjata?" Dia menegakkan punggungnya, mendapat ide lain. "Daripada senjata yang bisa membahayakan, bagaimana kalau sebuah artefak langka?"
Aditi mengernyit dan menggeleng.
Albert merogoh sakunya dalam-dalam. "Jangan langsung menolaknya begitu. Artefak ini sangat berguna. Saya akan menyerahkannya pada nona, lalu mengajari nona cara memakainya. Yang penting nona berhenti menangis."
Aditi semakin merumitkan kerutan di dahinya. Dia melihat wajah Albert yang bangga menunjukkan seonggok kunci tua di atas telapak tangannya.
"Apa 'sih, Orang Tua?" ejek Aditi.
Albert yang awalnya bersemangat menunjukkan penemuannya kini merengut. "Nona, saya baru berumur 25 tahun. Tolong jangan panggil saya 'Orang Tua' begitu."
Aditi menatap jijik kunci yang diperlihatkan Albert.
Albert menghembus berat. Dia beranjak dari tempat duduknya dan menyerahkan kunci itu pada Aditi, yang dengan keberatan menerimanya di atas telapak tangannya.
"Gunanya apa?" tembak Aditi.
Albert tersenyum sambil menutup mata. "Saya akan mengajari nona kalau sudah waktunya. Maka dari itu, kita harus jadi rekan berpetualang."
"Lupakan saja." Aditi melekam kunci yang didapatnya ke depan batang hidungnya. "Kalau begitu, jawab satu pertanyaanku ini. Darimana kau mendapatkan artefak ini?"
"Saya mendapatkannya dari Gua Ebbinghauss."
Bukannya berhenti di situ, Albert justru bercerita panjang lebar seolah dia menanti-nanti untuk bisa menceritakan ini pada seseorang.
"Setelah keluar dari pertapaan, hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah menakhlukkan gua yang penuh dengan tantangan ilusi itu. Konon katanya, tiap petualang yang masuk ke sana gagal untuk keluar karena terjebak ilusi. Ternyata setelah saya masuk ke dalam, mitos itu memang benar! Saya menemukan banyak tulang-belulang manusia yang terjebak terlalu lama di dalam gua." Albert menceritakan pengalamannya dengan antusias.
Aditi melebarkan kelopak matanya seiring dia mengingat tempat bernama Gua Ebbinghauss. Dia menutup mulutnya tak percaya.
"Nona tahu sesuatu tentang gua itu?" Albert tersenyum melihat respon Aditi yang seperti menyadari sesuatu yang hebat dari dirinya.
Aditi menggeleng. Wajahnya kembali tak tertarik dalam sekejap. "Aku hanya agak takut mendengar kau tiba-tiba bercerita menemukan tulang belulang manusia," karang Aditi padahal dia tak peduli masalah penemuan tulang-belulang.
Albert menyatukan tangan, tak terpikir sejauh itu ketika dia mulai bercerita. "Maaf, Nona! Aku terlalu bersemangat sampai lupa memandang status lawan bicaraku."
Aditi menggeleng sebagai respon jika itu bukan masalah besar. Dia menyimpan kunci itu ke dalam jubahnya. Dia mengedarkan pandangan sembari mengusap lengannya yang lain.
Albert melebarkan mata. "Nona kedinginan? Saya akan carikan kayu bakar. Mohon tunggu di sini sebentar."
Aditi mendongak keheranan melihat Albert yang tanpa basa-basi langsung beranjak dan mengarungi kegelapan hutan.