"Kalian menemukan petunjuk?" tanya Yang Mulia pada ksatrianya yang baru berkumpul kembali setelah berpencar.
"Tidak ada sama sekali, Yang Mulia." Ksatria yang melaporkan menunduk.
Yang Mulia memijat tengah alisnya, teringat isi pesan terakhir Aimara. "Kenapa dia tiba-tiba kabur seperti itu?"
Delapan ksatria yang duduk di atas kuda menunduk atas kegelisahan tuan mereka.
"Vancouver," Yang Mulia menunjuk ksatria yang berada di barisan paling belakang, "mendekatlah kemari."
Ksatria lain mengarahkan kuda mereka untuk menepi.
Ksatria—yang pedangnya pernah dicabut oleh Aimara untuk memenggal kepala seorang penduduk—itu mendekat dan membungkuk diikuti kudanya.
"Hamba menghadap pada Yang Mulia," hormat si ksatria.
"Menurutmu apa yang dipikirkan Aimara sebelum dia memutuskan kabur dari istana?" tembak Yang Mulia tanpa basa-basi.
Ksatria bernama Vancouver berpikir sebentar. "Menurut saya, Putri takut pada Yang Mulia."
Yang Mulia mengernyitkan dahi. "Kenapa dia takut padaku? Maksudku apa bedanya aku dengan diriku satu tahun yang lalu? Tahun kemarin dia tidak takut padaku."
Vancouver tersenyum kikuk. "Bukan Yang Mulia yang berbeda, tapi Putri. Setelah dua insiden pembunuhan yang Putri perbuat, Putri pasti sangat memikirkannya dengan berat. Putri mengkhawatirkan itu akan membuat perlakuan Yang Mulia pada Putri berubah."
"Kau sebut pembunuhan itu insiden?" Yang Mulia mengernyitkan dahi keberatan.
Vancouver membuka mulutnya tak percaya dan menutupnya kembali dengan cepat. "Putri telah menghilangkan nyawa dua orang penduduk tanah ini, Yang Mulia," ucap ksatria itu berusaha lugas.
Yang Mulia menaikkan alis dan membuang pandangan tak peduli. Dia menggeleng kecewa. "Padahal aku tidak pernah berniat mempermasalahkan perilaku Aimara yang kau besar-besarkan itu."
"Yang Mulia, Putri Aimara adalah seorang putri yang lemah lembut dan baik hati. Seluruh penduduk wilayah Tengah mengenalnya sebagai sosok yang seperti itu. Jika tiba-tiba Putri membunuh seseorang, itu merusak citranya dari puncak hingga dasar," Vancouver berusaha keras menjelaskan apa yang ada di pikiran penduduk sekarang pada Yang Mulia.
"Aku sungguh tak peduli." Yang Mulia mengangkat tangannya untuk menghentikan usaha Vancouver. "Aku justru jadi ingin memperhatikannya karena dia mulai menunjukkan sifat yang kumiliki pada dirinya."
Ksatria yang berada di belakang Yang Mulia dan Vancouver menelan ludah kesusahan.
"Ksatria!" seru Yang Mulia.
Sembilan ksatria, termasuk Vancouver, menyahut dengan semangat.
"Kita harus menemukan putriku. Sebarkan misi ini pada siapapun di tanah negeri ini! Aimara harus kembali ke istana!" seru Yang Mulia.
"Baik, Yang Mulia!" sahut sembilan ksatria bersamaan.
Di kedalaman hutan, dimana yang terlihat hanya batang pohon dan semak, Aditi terus berlari. Napasnya terengah-engah, mengeluarkan warna putih di udara. Suhu tubuhnya yang semakin tinggi. Seluruh sendinya terasa ngilu. Dia sudah berlari selama 20 menit tanpa istirahat. Kepalanya kosong jika disuruh memperkirakan berapa jaraknya dari tempat api unggun. Yang Aditi tahu, dia hanya harus terus berlari. Dengan kaki yang makin lemas, Aditi melanjutkan perjalanannya dengan gerakan yang lebih lambat.
"Pukul berapa sekarang?" tanya Aditi pada dirinya sendiri, berusaha membuat kesadarannya tetap terjaga.
Aditi menyipit melihat ada sebuah rumah kayu dengan obor yang menyala beberapa puluh meter darinya. Dia tidak sadar ternyata langkahnya malah membawanya keluar dari area hutan. Bahaya kalau sampai Yang Mulia menemukanku. Aditi berbalik dan melanjutkan langkah, tapi tak sampai tiga langkah dia berhenti sambil memegangi kepalanya.
Aditi berbalik dan berjalan ke arah rumah dengan obor.
Sebelum keluar dari area hutan, Aditi menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada pasukan atau pengawal istana yang dia yakini sedang mencarinya ke seluruh penjuru wilayah. Setelah memastikan semuanya aman, dia berlari kecil menuju bar.
Tangannya mendorong pintu masuk, bersamaan dengan itu timbul suara gemerincing.
"Selamat datang, Petualang!" sambut penjaga bar.
"Aku ingin membeli obat." Aditi mengutarakan permintaannya sambil menarik penutup kepalanya hingga menutupi matanya. Dia berjalan mendekati penjaga bar.
"Obat apa yang Anda butuhkan?" Penjaga bar menyangga badannya dengan dua tangan di atas meja.
"Pereda nyeri untuk demam."
"Baik." Penjaga bar berbalik, mengambil barang di laci. Dia kembali dengan sebuah kotak kayu. "Apa ini terlalu banyak untukmu?"
Aditi tersenyum dan menggeleng. Dia menariknya mendekat sambil menyodorkan uang. "Terima kasih."
Aditi membawa kotak kayu itu dan berlari kembali ke dalam hutan. Dia berjalan dengan wajah yang kian memucat demi menemukan mata air untuk menyeduh obat. Napasnya semakin cepat habis, padahal dia tak sedang berlari. Kakinya terasa berat untuk dibawa melangkah. Sesekali dia terbatuk. Tenggorokannya terasa kering kerontang. Matanya terasa panas, membuatnya harus melotot agar bisa tetap melihat jalan yang gelap. Hawa dingin menembus masuk hingga ke kulit. Dia mengeratkan jubahnya yang padahal sudah menutupi seluruh tubuhnya.