Aditi berlari dengan obor di tangan. Langkahnya cepat menuruni tangga spiral menuju penjara bawah tanah. Tak ada waktu untuk hati-hati. Dia harus bergegas. Aditi menajamkan penglihatan dan melangkah lebih cepat. Entah berapa anak tangga lagi yang harus dia lewati, dahinya basah oleh peluh.
Setelah melihat anak tangga terakhir, Aditi melompat dan mendarat dengan sempurna di lantai penjara bawah tanah. Dia menerangi sekitar dengan obor, berusaha menemukan ksatria yang membuntutinya selama dia berada di hutan. Namun, yang ditemukannya justru tengkorak dan bau busuk.
Aditi melangkah mundur sambil membekap hidungnya.
"Nona!"
Seruan dari suara yang familiar itu membuat Aditi berbalik. Dia melihat Albert dengan mata memelas memegang jeruji besi.
"Apa nona kemari untuk membebaskan saya? Saya tidak pernah melakukan kejahatan, tapi kenapa saya dipenjara?" protes Albert disertai wajah mengeluh yang kasihan.
Aditi melangkah mendekati Albert. Dia berjongkok sambil menerangi wajah Albert dengan obor di samping kepalanya. Entah kenapa Aditi merasa cara bicara Albert lebih sopan padanya daripada saat masih berada di hutan.
"Tidak. Aku kesini untuk membunuhmu."
Albert melompat ke belakang. Dia menyangga badannya dengan tangan, satunya lagi berusaha melindungi diri dengan menarik pedang keluar dari sarungnya.
"K-kenapa lagi? Nona mirip sekali dengan ayah nona!" Albert menggeleng tak habis pikir. "Saya sungguh baru keluar dari pertapaan, tapi kenapa harus mengalami semua ini!?"
Aditi memajukan obornya hingga memasuki jeruji besi. Dia menempelkan dahinya ke jeruji besi.
"Kenapa kau membawaku kembali ke istana?" desisnya dengan mata melotot.
Albert menekuk bibirnya ketakutan, mengerutkan dagu. "Apa...? Apa yang nona maksud?"
Aditi mengangkat alisnya kosong. "Bukan kau yang membawaku kemari?"
"Nona seharusnya mencari tahu dulu sebelum mengancam akan membunuh seseorang!" protes Albert. Albert membuang napas panjang, mulai menjelaskan, "Ayah nona sendiri yang menemukan kita begitu Havara menghilang. Semuanya terjadi begitu cepat. Mungkin ayah nona berpikir saya yang membuat nona terluka, lalu menjebloskan saya ke penjara ini."
Aditi melipat bibirnya ke dalam dan mengangguk dengan tatapan menyesal. Dia menarik dahinya menjauh untuk menggaruk area di samping matanya.
"Maaf, Albert. Kupikir kau yang membawaku kembali kemari." Aditi tersenyum menyesal sembari mengabaikan hasrat untuk menjelaskan alasan sebenarnya kenapa Yang Mulia menjebloskan Albert ke penjara.
Albert menurunkan pedangnya dan menyarungkannya kembali. Dia mendekat ke arah jeruji.
"Saya ingin memastikan sesuatu. Nama Nona sebenarnya Aimara, kan? Nona ternyata adalah putri dari penguasa negeri ini," selidik Albert.
"Ternyata kau sudah tahu siapa aku." Aditi memutar mata jengah. "Aku sudah membuang nama dan statusku secara sepihak. Jadi, jangan panggil aku dengan nama itu jika kau masih ingin bicara denganku," tegas Aimara.
"Nona tidak nyaman dengan kehidupan nona, ya?" tembak Albert ragu-ragu.
Aditi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mau memberitahu Albert kalau sebenarnya dia takut ayahnya akan menghukumnya karena sudah membunuh orang. "Tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya ada hal yang harus aku lakukan."
Yaitu kabur, lanjut Aditi dalam hati.
"Nona bisa melakukannya tanpa harus membuang kehidupan nona, kan?" saran Albert.
Aditi menarik napas melalui mulut. Dia melirik Albert tajam.
"Kau orang kedua yang mengatakan hal semacam itu. Kau pikir akan mudah keluar dari rumah ini jika ayahku punya sifat seperti itu?"
Aditi menatap lekat mata Albert, lalu berubah memandangi ujung kepala hingga ujung kaki. Terakhir, dia mendaratkan tatapannya pada jeruji besi di sekelilingnya.