Aditi dan Albert menikmati sarapan masing-masing. Roti daging dan teh Aditi tiba dengan keadaan panas mengepul. Sementara itu, di hadapan Albert hanya ada kentang rebus dan buah-buahan yang terlihat layu dan pucat. Ditambah segelas kecil air putih.
Aditi menyantap roti dagingnya dengan dua tangan. Sembari mengunyah dan menikmati rasa makanan yang mengecap di lidahnya, Aditi melirik Albert yang memakan kentang rebus dengan senyum yang masih tak menghilang dari wajah tampannya.
"Kapan kau memesan itu?" tegur Aditi.
Albert berhenti mengunyah untuk menelan makanannya. "Tadi, sebelum duduk. Ada apa, Nona?"
Aditi mengernyit sinis. "Apa nama menu untuk makananmu itu?"
Albert tertawa malu. "Saya hanya mengatakan kalau ingin memesan makanan paling murah yang bisa diberikan."
Aditi menatap kasihan pada ksatria di depannya. "Albert, kau melarat, ya?"
Albert hanya tertawa sebagai jawaban.
Aditi membagi roti dagingnya menjadi dua bagian. Dia meletakkannya di piring Albert dan menambahkan beberapa uang.
"Nona, Anda tidak perlu-"
Albert berusaha mencegah Aditi, tapi dia tidak bisa menahan tangan Aditi yang bergerak tanpa keraguan sedikitpun.
"Makan," titah Aditi. "Itu juga uang untuk mengganti biaya penginapanku, bukan untuk yang lain."
Albert menelan ludah kesusahan. "Saya tidak pernah meminta ganti."
"Aku juga tidak minta ditemani, tapi kau terus membuntutiku. Iya, kan?" potong Aditi.
Albert harus menelan kepahitan atas fakta yang disampaikan Aditi. Dia meraup roti isi daging di atas piringnya dengan berat hati dan memakannya. Wajah keberatan itu seketika menjadi cerah ketika dia mengunyah roti daging pemberian Aditi.
Aditi tersenyum sambil mengunyah makanannya.
Pintu bar dibuka dengan kasar. Tiap pasang mata di bar itu menatap ke arah pintu masuk. Dua orang ksatria dengan zirah perak berkilauan berdiri membuka pintu seolah menyiapkan jalan. Aditi melotot mengenali wajah pengawal yang pedangnya pernah dia cabut tanpa izin.
Sosok berambut putih masuk. Sontak napas semua orang tercekat.
Aditi dan Albert membeku di meja mereka. Dalam sekejap nafsu makan mereka menghilang. Albert berhenti mengunyah. Aditi meletakkan makanannya. Tenggorokannya terasa kering mendadak.
"Nona, apa kita harus kabur?" bisik Albert, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan Aditi.
Aditi masih bergeming. Begitu dua pasang mata Sang Tiran menyapu seisi bar, Aditi baru mengalihkan pandangan ke arah Albert.
"Tak ada satu pun yang bergerak. Kita jangan menarik perhatiannya," balas Aditi dengan gerakan bibir.
Udara terasa berat seiring sosok yang biasa dipanggil Yang Mulia melangkah masuk ke dalam. Aditi berusaha tetap santai walaupun pundaknya terasa berat, keluar keringat dingin, dan dadanya berdebar tak wajar.
"Aku penasaran, apa diantara kalian ada yang melihat putri kesayanganku?"
Aditi merasa ada yang aneh dari nada bicara Yang Mulia, tapi dia tak berani menoleh untuk saat ini.
Aimara yang memiliki tubuh ini pun tak bereaksi sesenang biasanya.
Aditi menelan ludah kesusahan. Dia yakin, begitu mereka bersitatap, itulah tiba saatnya dia akan diseret kembali ke istana. Bahkan penyamaran pun tak akan bisa menghapus identitasnya di hadapan Yang Mulia. Ada sesuatu kemistri yang telah terjalin antara ayah dan anak satu ini.
"Tidak ada?" tanya Yang Mulia sekali lagi. "Sayang sekali. Bagaimana dengan pemilik bar dan penginapan?"