Unauthorized Life

Ajeng Meira
Chapter #15

14

"Jadi, kau harus menemukan akhir cerita yang terbaik untuk Havara?"

Aditi mengangguk. Dia sebenarnya punya penjelasan panjang lebar bahwa kesimpulan Albert tidak sepenuhnya benar. Namun, dia memutuskan mengangguk. Yang penting mengangguk.

Albert balas mengangguk setelah merasakan gerakan kepala Aditi di pundak kanannya. Walaupun Albert terlihat tenang, tapi nyatanya dia tak punya ide sama sekali tentang apa yang baru saja dia simpulkan.

Albert menggendong Aditi di punggungnya. Mereka telah berjalan menyusuri hutan seperti itu selama satu jam. Pada awalnya, Aditi yang mengajak untuk melanjutkan perjalanan kembali beristirahat lagi setelah 30 menit berjalan. Lalu, Albert berjongkok membelakangi Aditi dan bilang akan menggendongnya tanpa pikir panjang.

Aditi tak pernah menyangka akan menerima tawaran itu.

"Apa kau tidak capek?" tanya Aditi, baru merasa kasihan.

Albert sedikit mendongakkan kepalanya ke arah Aditi. "Tidak. Tenang saja."

Aditi merengut sambil menatapi wajah Albert dari samping. Dia sangat menyukai sifat Albert saat ini, dan dia sangat ingin mengutarakannya, tapi dia tak punya cukup keberanian untuk dipandang gila. Masalahnya, raganya sekarang adalah Aimara. Jika Aimara dipandang gila, kacau sudah. 

Aditi meringis ngeri membayangkan kegilaannya sendiri. Kebaikan Albert yang tidak dia pahami darimana asalnya ini membuat hatinya bertanya-tanya. Kenapa dia tak pernah terbersit sedikitpun untuk melakukan kebaikan seperti yang dilakukan Albert semasa dia masih hidup? Jika dia melakukan ini, mungkin saja sikap bosnya tidak akan terlalu kasar padanya. Mungkin saja dia tidak perlu makan sendirian di kantin kantor. 

Aditi menatap pepohonan dengan pandangan kosong.

Acuh tak acuh, jarang mengobrol, dan sembrono. Dibandingkan sifat baik Albert, Aditi merasa dirinya lebih mendekati sifat buruk secara umum. Jika dia saja menyukai sifat baik Albert yang dimana itu berkebalikan dengan sifatnya, apakah pada dasarnya semua orang selama ini tidak menyukainya?

Aditi merinding memikirkan gumaman di kepalanya.

"Kenapa masyarakat hanya menyukai orang baik? Orang jahat 'kan juga hidup. Mereka punya hak untuk disukai juga 'kan?" celetuk Aditi di tengah kedamaian.

Aditi menyemburkan pertanyaan itu tanpa pikir panjang.Dia baru menyesal setelah menyelesaikan kalimatnya.

Namun, Aditi penasaran pada jawaban Albert, tokoh yang dia ciptakan dengan rasa perikeadilan yang tinggi.

"Kenapa orang-orang lebih menempel pada orang baik?" ulangnya sebelum menekuk bibirnya ke dalam.

Albert yang kebingungan menerka maksud Aditi menjawab, "Memangnya kau mau berteman dengan pencuri daripada dengan orang yang jujur?"

Aditi menggembungkan pipinya, agak kecewa dengan jawaban Albert yang masuk akal dan terlalu gampang. "Kau ada benarnya."

Berarti benar apa kata gumaman di kepalanya. Selama ini Aditi dibenci oleh semua orang di kantornya, bahkan mungkin di kehidupannya.

Albert tertawa. "Apa kau sedang mengujiku? Kenapa pertanyaanmu tiba-tiba seperti itu?"

"Aku bertanya begitu karena aku terjebak di tengah-tengahnya." Aditi tanpa sadar mengeratkan kedua tangannya yang sedang terkalung di leher Albert.

Albert tiba-tiba berhenti melangkah setelah mendengar jawaban Aditi. Aditi berkedip kebingungan sebelum menegur Albert,

"Kenapa kau berhenti? Kalau kau kecapekan, turunkan aku."

Albert tersenyum. "Tidak, aku tidak lelah. Aku hanya agak kaget."

Albert melanjutkan langkahnya. Pohon terasa semakin rapat satu sama lain. Cahaya matahari berkurang drastis karena rimbun daun yang menutupi hutan. Albert menyipitkan mata dan mencermati sekitar dengan seksama.

Lihat selengkapnya