Aditi Shanti sedang mengetik di kamar apartemennya dengan pencahayaan minim dari lampu duduk. Meja kerjanya mengarah ke depan jendela kaca apartemennya yang berada di lantai 34. Dibalik kaca itu, terpampang pemandangan gedung-gedung tinggi dengan lampu yang berkedip fantastis.
Wanita tanpa tujuan hidup yang besar itu menatap layar laptopnya jengah. Tidak, dia bukannya bosan, tapi bentuk dan gurat wajahnya memang seperti itu ketika dia tak tersenyum. Tangannya meraih minuman dingin berisi boba dan menyedotnya. Dia meletakkan kembali minuman itu untuk mengetik sambil mulutnya mengunyah nikmat.
"Menulis itu sama seperti menciptakan lemari menuju Narnia dengan tanganmu sendiri."
Aditi tersenyum dan mengangguk setuju pada ketikannya sendiri.
***
Kata-kata yang indah andaikan kau tidak perlu memasuki novel buatanmu sendiri dan ikut tersiksa di dalamnya.
Aditi menatap mata Havara yang tertunduk, tak mau menatapnya.
Air muka Havara terlihat gelap. Rahangnya mengeras hingga mengeluarkan bunyi gemeretak. Aditi melirik ke bawah, tangan kanan Havara terkepal erat seperti siap meninju wajah Aditi kapan saja.
Aditi memejamkan mata melihat kebencian Havara yang begitu dalam kepada Aimara. Anehnya, perasaan lain datang menghampiri Aditi. Perasaan yang sama ketika dia depresi begitu mendengar kabar bahwa Abel ditemukan tewas.
Walaupun dia penulisnya, tapi ada hal yang tidak dia ketahui mengenai ceritanya sendiri.
Havara membuka bibirnya dengan tatapan tajam yang menusuk.
Aditi membuka kelopak matanya. Dia siap mendengarkan apapun, bahkan jika Havara akan mengumpatnya dengan keras.
Sebuah anak panah melesat dari samping. Hembusan angin yang mengarah ke kepala Havara membuat Aditi berkedip. Havara melesat dengan wujud kabut dan mendarat di atas pohon.
Albert menarik Aditi mundur ke belakangnya.
Belasan anak panah meluncur dari kejauhan. Mereka meluncur secara berkelompok ke arah satu orang. Seolah ada meriam panah di dunia ini yang sedang menarget Havara. Asalnya dari satu arah dan hanya menuju ke satu arah. Dari sekian banyak anak panah yang terlihat, tak ada satu pun yang bisa melukai Havara karena dia bisa dengan mudah menghindar dengan wujud kabutnya.
Aditi dan Albert berhenti berusaha menghindar karena mereka sadar kalau panah itu tak berniat mengenai mereka sama sekali.
Albert mengamati tempat panah itu keluar, tapi matanya bahkan tak bisa menemukan ujung kemunculan dari panah tersebut.
"Darimana sebenarnya...?" Aditi memutar badan ke sembarang arah. Firasatnya mengatakan serangan ini berasal dari seseorang yang berbahaya jika kekuatannya dapat mengancam Havara seperti sekarang.
Albert berbalik untuk mengamankan Aditi ke tempat yang agak jauh.
"Nona, berhati-hatilah-"