Aditi membuka kelopak matanya ketika mendengarkan ketukan pintu. Suara yang masuk dari balik pintu bisa membuatnya wajah paginya santai dan sumringah.
"Masuklah, Izy!" seru Aditi.
Izy membuka pintu kamar dengan senyum takut.
Aditi beringsut sedikit demi sedikit. Tubuhnya terasa lebih ringan daripada kemarin malam. Dia bisa bangkit duduk dan bersandar pada punggung kasur.
Aditi mengamati tingkah laku Izy yang tak seperti biasanya. Pelayan itu bahkan tak melihat matanya.
"Izy, ada apa dengan dirimu?" Aditi menurunkan kakinya ke samping.
Izy tersenyum kaku dan memaksakan dirinya untuk melihat mata Aditi. "Nona, mau sarapan apa hari ini?"
Aditi menajamkan penglihatannya. "Izy, kau baik-baik saja, kan?"
Izy tersenyum malu-malu, seperti dirinya yang biasanya. "Kabar saya baik, Tuan Putri."
Aditi menarik napas lega. Jika bisa melihat Izy bersikap seperti biasanya, berarti tak ada hal besar yang terjadi selama Aditi kabur dari istana.
Begitulah yang Aditi pikirkan. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa pikirannya salah.
Aditi memijit dagu. "Aku ingin makan ikan."
Izy membungkuk. "Baik, Tuan Putri. Segera datang."
Aditi mengamati Izy yang membungkuk lalu berbalik dan menutup kembali pintu kamarnya.
Aditi merogoh saku dalam bagian jubahnya. Tak ada apapun di dalamnya. Aditi menepuk dadanya lega.
"Untung aku sudah membakar buku catatanku ketika di gua."
Aditi membuang napas sembari mengamati sekitarnya. Kamarnya terasa sepi karena tak ada suara kicauan burung atau serangga pengerik. Udara terasa sejuk dan tidak lembab apalagi panas. Yang bisa dilihatnya di sekitar hanya perabotan dan pagar balkon, bukan lagi dedaunan dan kayu pohon. Aditi menatap kedua telapak tangannya yang kering dan kasar walaupun bersih. Hari-harinya di hutan telah berlalu.
Terlintas wajah seseorang dengan rambut pirang dan mata biru di kepala Aditi. Aditi mulai memperkirakan apa yang terjadi setelah dia dibawa paksa oleh Yang Mulia, meninggalkan Albert dan Havara di hutan.
Mereka tidak mungkin malah bersekutu kan? Aditi tertawa masam. Jika Albert berhasil meyakinkan Havara, itu adalah kabar yang sangat baik. Tapi jika havara yang berhasil menghasut Albert... Senyum di Aditi memudar dengan cepat, maka tamat sudah.
Aditi memukul dahinya berulang kali. Dia benci dengan rasa takutnya yang berlebihan seperti ini. Setelah apa yang dia dan Albert lalui bersama, Aditi yakin Albert akan tetap berpihak padanya. Semoga saja apa yang terjadi di masa depan sesuai harapannya. Meskipun, Aditi agak menyesal karena belum sempat mendengar alasan Havara begitu membencinya pada waktu itu.
"Aku tidak berharap sama sekali, tapi...," Aditi menoleh ke arah balkon, melihat langit biru yang terlihat bagus, "apa kau akan datang untuk menyelamatkanku kali ini?"
***
Langkah Albert terhenti dari perjalanannya mengekori seorang wanita. Dia mendongak untuk melihat langit biru cerah yang berada jauh di atas ujung pohon yang mengerubunginya.
"Pada akhirnya, semuanya tidak berarti. Kita melihat langit yang sama, tapi aku tak tahu siapa sebenarnya dirimu."
"Kau sedang bicara pada siapa?"
Havara ikut berhenti melangkah dan berbalik menatap Albert.