Aimara terbangun karena suara ketukan pintu. Dia beranjak dari kasurnya dan bercermin sebentar. Bayangan cermin menampakkan seorang perempuan cantik dengan rambut putih dan mata emas. Bayangan cantik itu tersenyum dan membelai wajahnya dengan punggung tangan.
"Aku sangat mirip dengan ayah. Bisa dibilang aku ini ayah versi perempuan."
"Tuan Putri, selamat pagi."
Suara itu kembali terdengar dari balik pintu kamar.
Aimara membuang napas jengah. Dia membuka pintu kamarnya dengan kedua tangan dan berdiri di tengah pintu.
Izy menarik tangannya yang dari tadi mengetuk pintu kamar Aimara.
Wajah yang ketakutan bercampur kaget membuat kemarahan Aimara pada pelayan yang kurang ajar pada sarapannya itu sedikit berkurang. Dia sedikit merasa terhibur dengan gelagat Izy. Ada rasa senang di hatinya ketika melihat orang lain menatapnya dengan rasa takut.
Aimara menelan keinginannya untuk marah dengan menghembuskan napas kasar. Dia melirik ke arah dua pengawal di sisi pintu kamarnya yang terlihat siap melakukan apapun yang Aimara perintahkan.
"Tuan Putri, Yang Mulia mengundang Anda untuk sarapan bersama," terang Izy.
Aimara tertawa dengan bibir terkatup. Dia mengamati penampilan Izy mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Itulah dia penampilan dari pelayan yang berani membuatnya ketiduran seharian penuh.
"Kau benar-benar kurang ajar, ya, Izy?"
Izy terbelalak dan menutup mulutnya dengan kedua tangan, berpikir jika ada yang salah dengan penyampaiannya. "M-maaf, Tuan Putri?"
Aimara menggelengkan kepala dengan senyum masam. "Berani-beraninya kau menampakkan diri di hadapanku setelah kau menaruh sesuatu di makananku kemarin."
Izy menarik napasnya patah-patah seperti orang asma. Dua orang prajurit yang berdiri di sisi pintu pun menoleh tajam dengan tatapan mengintimidasi dan sedikit tidak percaya. Mata mereka melihat Izy dari atas ke bawah sekilas.
Aimara menutup pintu kamarnya dengan keras.
Suara Izy yang menyesal terdengar dari luar pintu. Aimara menyeringai sambil mempersiapkan dirinya sendiri untuk menghadiri undangan sarapan dari ayahnya. Dia membersihkan diri, memilih gaun, dan merias diri diiringi suara tangisan Izy yang terdengar merdu di telinganya.
Aimara bisa curi dengar bagaimana dua prajurit yang mengawal kamarnya menginterogasi Izy di sela-sela tangisannya. Akhirnya kedua prajurit itu paham dan menyayangkan perbuatan Izy. Mereka berdua bahkan berkata bahwa Izy seharusnya bersyukur dia masih dibiarkan hidup hingga hari ini.
Aimara memandang bayangannya di cermin sambil melangkah mundur. Dia memutar badannya 180 derajat. Gaun rumbainya yang berwarna merah sedikit berkibar karena gerakan kecilnya. Dia tersenyum dengan mata yang datar.
Izy sedang bersimpuh di depan pintu dengan wajah yang basah. Dua orang pengawal di depan kamar Aimara berusaha membujuknya untuk berhenti menangis dan pergi dari tempat itu.
Mereka bertiga sontak mendongak ketika melihat pintu kamar Aimara terbuka.
Aimara memandang tiga orang itu merendahkan.