Unauthorized Life

Ajeng Meira
Chapter #22

21

Aimara berdiri di tengah lapangan latihan yang terletak di belakang istana. Pakaiannya terlihat kontras dengan pakaian yang biasa dikenakannya di lingkungan istana. Jika biasanya dia mengenakan gaun berumbai, kini dia memakai kemeja longgar dan celana. Rambut yang biasa tergerai bebas kini terikat seperti ekor kuda. Meski begitu, aura menawannya tak memudar, justru memancarkan kharisma tersendiri.

Aimara mengamati belati tajam yang ada di pegangannya.

Rasanya baru seperti kemarin, padahal sudah tiga hari telah berlalu sejak Vancouver mengajarinya cara memegang berbagai senjata. Mulai dari pedang, belati, hingga tombak. Dan itu semua terjadi karena ayahnya tiba-tiba mengatakan agar berlatih menggunakan senjata begitu mereka selesai sarapan bersama.

Aimara menghembuskan napas. Semua ucapan dan peragaan yang Vancouver contohkan padanya masih terpatri jelas dalam ingatan.

Aimara memutar pegangan belatinya ke arah dalam. Sekali gerakan kombo dari jemarinya, pisaunya berputar seperti sedang pertunjukan. 

"Bangun kuda-kuda yang kokoh." Vancouver memperhatikan lutut Aimara.

Aimara menarik napas dan menahannya di dalam perut. Dia merendahkan lututnya sedemikian rupa seperti yang Vancouver tunjukkan padanya.

Vancouver melangkah memutari Aimara sambil terus mengamati kuda-kuda yang Aimara buat.

Aimara terbersit tentang hujan panah yang sempat menyerang Havara ketika di dia masih hutan bersama Albert.

"Perhatikan pegangan Anda, Putri. Jangan sampai cengkeraman Anda melemah."

Pikiran Aimara pecah. Dia kembali mengeratkan pegangannya pada belati. Kilauan belati yang dipegangnya membuat Aimara berpikir. Bukankah pada umumnya orang berlatih menggunakan senjata dari kayu? Tapi kenapa yang ini malah langsung menggunakan senjata asli? Aimara melirik ke arah bangku penonton. Pada orang yang mencetuskan ide latihan menggunakan senjata ini secara mendadak.

Yang Mulia yang menyadari putrinya sedang menatapnya pun melambai untuk memberikan semangat.

Aimara membalas lambaian itu dan tersenyum. Jika dipikir-pikir lagi, Aimara senang tak perlu mengkhawatirkan apapun. Ancaman terbesarnya, Havara, saja tersudut oleh ayahnya. Sekarang, tak ada alasan untuk merasa takut. Aimara justru harus berterimakasih pada ayahnya. Karena akhirnya dia bisa memperhatian Aimara dan mengakuinya. 

"Fokus, Putri!" seru Vancouver.

Aimara yang kagok berusaha kembali ke kuda-kuda sempurna. Bibirnya tertekuk merasakan tangannya yang pegal, tapi Aimara tetap melanjutkan latihan gerakannya.

"Posisi yang bagus, Tuan Putri."

Aimara mengganti kuda-kudanya setelah menerima arahan dari Vancouver. Dia menyadari bahwa pelajaran yang disampaikan Vancouver begitu mudah untuk dia cerna. Aimara sendiri terkejut dirinya belajar lebih cepat melampaui ekspektasi.

"Aku bosan. Bagaimana kalau menggelar sedikit tes?"

Aimara melotot ketika tiba-tiba mendengar suara ayahnya di dekatnya. Namun, di saat yang bersamaan, sebuah pedang muncul dari arah samping. Aimara tak perlu menoleh untuk mengetahui pedang itu sedang mengarah ke lehernya. Vancouver mengajarinya tentang insting dalam pertarungan sungguhan secara intens.

Aimara memutar badan dan menangkis serangan itu dengan belati kecilnya. Dia berhasil membelokkan serangan itu, tapi belatinya terlempar dan menancap di atas tanah jauh di belakangnya.

"Astaga, Yang Mulia." Vancouver menutup mulutnya kaget. "Putri belum bisa menandingi kemampuan Yang Mulia, sebaiknya jangan—"

Yang Mulia membalikkan pedang yang dipegangnya ke Aimara. "Ayo sparing sebentar. Aku ingin lihat seberapa hasil latihanmu."

Aimara melemaskan telapak tangannya yang masih nyeri karena menerima serangan tiba-tiba. Jantungnya berdebar. Aimara yang kemarin pasti mengenal perasaan ini sebagai ketakutan. Namun, Aimara yang sekarang berbeda. 

Aimara menerima pedang itu dari tangan ayahnya. Dia tidak merasa takut, tapi tertantang. Mau bagaimanapun, Yang Mulia adalah ayahnya. Dan mau bagaimanapun, Aimara adalah darah dagingnya.

Aimara hampir saja menjatuhkannya karena tak menyangka pedangnya akan berat. Dia berhasil memegangnya dengan baik setelah mengerahkan dua tangan. Aimara tertawa dan menyeringai kecil.

Yang Mulia mengangkat pedangnya yang lain, entah dari mana asalnya. Dia memegangnya dengan satu tangan. Pedangnya bergerak naik turun seolah bobotnya seringan kayu tipis.

Lihat selengkapnya