Tempat itu tampak seperti hutan, tapi nyatanya tempat itu bukan hutan. Karena walaupun tempat itu memiliki berbagai komponen yang dapat mendukung alasan tempat itu dipanggil hutan—pohon, semak, tanah kering, dan daun yang berserakan—tapi, atmosfir yang terasa di sana tidak terasa seperti hutan pada umumnya. Hutan itu disinari oleh cahaya yang berwarna ungu tipis. Tak jelas dari mana asalnya cahaya itu. Semua yang bisa terlihat di sana pun tak berwarna hijau, melainkan hitam dan ungu gelap seperti jenis varian gelap untuk tanaman.
Sebuah cakar hitam menebas pohon berdiameter 20 sentimeter dalam sekali ayunan tangan. Suara ambruk disertai angin membawa debu-debu menghalangi jarak pandang. Havara berbalik dan keluar dari kabut debu sambil melemaskan tangan.
"Seharusnya kau meninggalkan benda itu padanya."
Albert yang sedang bosan mengamati ketajaman pedangnya mengangkat wajah untuk menatap sumber suara.
"Apa dia tahu bagaimana rencana kita?"
Havara menjawab pertanyaan itu dengan mengayunkan tangannya ke arah Albert. Cakarnya menerjang dan menghantam titik dimana Albert duduk tenang. Pecahan batu besar berhamburan ke segala arah. Debu yang menggumpal berangsur-angsur jatuh ke tanah. Menampilkan Albert yang berdiri beberapa meter di belakang tempatnya yang sudah hancur berkeping-keping. Wajahnya terlihat santai, tapi pegangan pada gagang pedangnya kokoh. Seolah dia sudah sering mengalami hal ini.
"Kau percaya padanya?"
Pertanyaan itu membuat Albert mengeratkan cengkeramannya pada gagang pedang. Albert tak tahu harus memihak pada siapa. Jika dia bicara pada Havara sebelum saat ini, nada dari pertanyaan itu pasti seolah sedang meragukan keputusannya. Namun, sekarang Havara bertanya dengan nada memastikan.
Havara yang bisa melihat reaksi itu tersenyum penuh kemenangan.
"Aku sendiri curi dengar dari para penduduk jika dia tak lagi sama seperti dulu." Albert melonggarkan pegangannya dengan putus asa. "Apa yang kau harapkan?"
Havara menekan-nekan bibir bawahnya sembari berpikir. "Kita harus percaya padanya."
"Aku pun ingin, tapi kenapa kita berharap pada sesuatu yang tak pasti?" Albert mengangkat kedua tangannya heran, pedangnya telah menghilang entah kemana.
"Dia bukan Aimara yang kukenal. Sosok itu pasti punya rencana sendiri." Havara berkacak pinggang percaya diri.
Albert mengernyit. "Apa tidak masalah kau terang-terangan menyebut namanya saat mengetahui kita bisa saja sedang diawasi?"
Havara menyeringai dan melirik dari sudut atas matanya. "Dia tak bisa menembus tempat ini."
***
Yang Mulia menatap pemandangan di belakang kursinya. Yang terlihat di sana hanya dataran luas lapangan dan sisanya adalah hutan tak berujung. Negeri kecilnya ini memang dikelilingi hutan. Wilayah yang tak begitu terkenal dan tak memiliki sumber daya apapun selain Gunung Elestial yang dikatakan memberi kekuatan pada para pertapa di dalamnya. Wilayah ini tak menjanjikan apapun untuk penguasanya.
Satu-satunya alasan kenapa Yang Mulia menjadi penguasa atas wilayah Tengah adalah karena dia terobsesi pada mendiang istrinya.
Yang Mulia kembali teringat pada wajah cantik istrinya. Yang Mulia sangat menyayangkan Aimara yang tak nampak seperti istrinya sama sekali. Dia justru tampak seperti dirinya, mulai dari rambut hingga matanya.
Terkadang dan bahkan saat ini pun, Yang Mulia mempertanyakan kesungguhan rasa cinta istrinya padanya, karena dia menyadari sifat kejamnya yang tak disukai oleh semua orang. Ketika teringat bagaimana istrinya tersenyum dan menerimanya sebagai pasangan sehidup semati, Yang Mulia jadi tersenyum samar. Rasa cinta yang mereka miliki tak pernah luntur, apalagi palsu. Namun, semua itu sedikit berubah ketika Aimara terlahir. Yang Mulia tak bisa menerima bahwa keturunannya adalah seorang perempuan. Dia mengabaikan anak itu dan itu membuat istrinya pun balas mengabaikannya.
Rasa menyesal menggigit hati Yang Mulia. Jika dia tahu bahwa Aimara bisa bersikap seperti sekarang sejak saat itu, maka dia pasti telah membangun sebuah keluarga romantis nan bahagia. Dia menyesal telah mengabaikan Aimara yang begitu berpotensi sebagai penerusnya.
Suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuatnya menyalakan sedikit kemampuan "pinjamannya". Dia bisa melihat Aimara sedang berdiri di balik pintu itu.
"Masuklah," ucapnya.
Aimara membuka pintunya dan berjalan menuju depan mejanya.