Aimara berdiri di ujung balkon kamarnya. Tangannya menyangga badan di atas pagar pembatas. Dia tersenyum dengan mendongak, membiarkan rambutnya berkibar terbawa angin. Menyambut aliran angin malam yang menyentuh wajahnya, sekaligus perasaan yang baru pertama kali muncul di hatinya. Sebentar lagi dia akan benar-benar menjadi seperti ayahnya.
Aimara memejamkan matanya. Bayangan jauh di masa depan di mana dia berdiri dengan sorak dan tepuk tangan banyak orang membuat kedua sudut bibirnya sedikit naik.
"Jadi, itu yang ayah lakukan hingga bisa jadi sang Penguasa Wilayah, ya?" Aimara teringat apa yang ayahnya katakan padanya tadi siang di ruang kerjanya.
Matanya jauh memandang ke hutan di luar istana. Terbayang sosok dua orang yang kini sedang menyusun rencana untuk membunuhnya begitupun ayahnya.
"Jika ritual itu berhasil, aku bahkan bisa melihat mereka dari jarak sejauh apapun. Aku akan jadi tak terkalahkan. Aku tidak akan mati."
Suara cekcok tipis terdengar di depan pintu kamar Aimara. Aimara memutar bola matanya jengah. Suara perempuan yang sedang cekcok itu membuat Aimara muak. Dia membuang napas panjang sembari berjalan menuju pintunya.
Aimara membuka pintu kamarnya dengan kedua tangan terbuka lebar.
Izy yang sedang diseret lengannya oleh Vancouver dan Derek berteriak memohon ampun melihat Aimara membuka pintu kamarnya. Izy berusaha menarik lengannya agar bisa menyatukan telapak tangannya di depan wajah.
"Tuan Putri, tolong maafkan saya. Saya tidak akan melakukan hal itu lagi. Saya janji! Tolong beri saya kesempatan sekali lagi," mohonnya.
Aimara menatap wajah Izy yang basah tak terlihat tak mengurus diri sendiri. Setelah menghembuskan napas kasar, Aimara berbalik.
"Lepaskan dia. Biarkan dia masuk."
Vancouver dan Derek saling tatap sebelum akhirnya melepaskan genggaman mereka dari lengan Izy. Izy berlari ke hadapan Aimara dan bersimpuh di bawah kakinya. Vancouver dan Derek berjalan kembali sambil saling lirik sesekali. Tampak jelas raut khawatir kalau-kalau putri mereka melakukan sesuatu yang berbahaya pada pelayan polos itu.
Aimara memberi jalan untuk Izy masuk lalu menutup pintu kamarnya. Dia mengumpankan senyum dan menggeleng ke arah dua pengawalnya sebelum daun pintu tertutup sepenuhnya. Kedua pengawalnya itu sedikit lega melihatnya.
Izy dengan senyum sumringah memasuki kamar tuan putrinya malam itu.
"Kenapa kau begitu keras kepala ingin tetap menjadi pelayanku?" selidik Aimara.
Izy menatap Aimara dengan kebahagiaan. "Saya ingin mendampingi Tuan Putri! Saya sangat menyesal sudah meletakkan obat tidur di makanan Tuan Putri. Saya yang kurang pintar mengakali Yang Mulia."
Aimara mengangkat telunjuknya untuk memotong ucapan Izy. "Apa kau benar-benar ingin mati? Beraninya kau berusaha mengkhianati istana."
Wajah Izy memucat dengan cepat. Dia memang tak berpikir panjang, tapi dia sendiri tak menyangka tuan putrinya yang dia bela-bela kini sedang membela seorang tiran. Meskipun Yang Mulia adalah ayah tuan putrinya, tapi Izy tak mengerti apa alasan Aimara kini justru mendukungnya. Sosok yang sedang menatapnya sekarang tak nampak sama sekali seperti Aimara yang dia kenal.
Aimara mengibaskan telunjuk remeh. "Kau tidak punya kekuatan apapun untuk bisa mewujudkan itu," sepele Aimara.