Aimara menghadap dengan hormat ke arah ayahnya.
Yang Mulia masih sibuk memperhatikan lukisan mendiang istrinya yang dia pajang di sisi kanan ruang kerjanya. Tangan kirinya menyangga kepala.
"Ada apa kau datang kemari?" tanyanya, setelah tiga puluh detik membiarkan kecanggungan membumbung tinggi di udara.
"Saya ingin pergi ke butik untuk mencari gaun yang cocok ketika ritual. Apa ayah mengizinkan?"
Yang Mulia memutar kursinya mengarah ke Aimara. Tangannya masih tetap menyangga kepala. Aimara tak bisa memastikan apakah ayahnya sedang berpikir, marah, atau curiga padanya. Air mukanya tak menunjukkan ketiganya, tapi Aimara yakin ayahnya sedang merasakan salah satu dari ketiga hal itu.
Aimara sudah memantapkan hatinya di depan cermin sebelum datang ke ruang kerja ayahnya. Jika dia memang harus mati hari ini, maka Aimara akan menerimanya. Aimara berharap orang yang akan melanjutkan kisah ini mampu menyelesaikan bagian yang telah dirusaknya.
Ketika melihat ayahnya mulai membuka bibir, Aimara memejamkan mata.
"Apa kau sebenarnya sedang bosan dan ingin membabi buta menyerang para penduduk?"
Pertanyaan itu di luar segala perkiraan yang ada di pikiran Aimara hingga membuat matanya tiba-tiba membulat.
Aimara terlalu kagok sampai tak bisa berkata-kata. "K-kenapa pula aku membunuh para penduduk? Jika aku sebengis itu, wilayah kita tidak akan punya penduduk, Ayah!"
Yang Mulia mengangkat kedua tangannya. Dia bangkit dari posisi santainya untuk duduk tegak. "Jika kita kehabisan penduduk, ambil saja penduduk dari wilayah lain. Ayah tinggal menyatakan perang."
Terlepas dari ide tak masuk akal yang didengarnya, Aimara tertegun menyadari Yang Mulia memanggil dirinya sendiri "ayah". Dia benar-benar mengakui dirinya sebagai ayah dari Aimara. Ada rasa hangat yang menyapu wajah Aimara, tapi dia memutuskan untuk mengalihkan pikiran.
"Boleh aku mengajak Vancouver dan Derek bersamaku?" tanya Aimara.
Yang Mulia mengibaskan tangannya ringan. "Ajak siapapun yang kau mau."
Aimara terdiam sebentar sebelum membungkuk. "Baik, Ayah. Terima kasih."
Aimara mohon undur diri dan berjalan menuju pintu sebelum langkahnya terhenti karena mendengar ayahnya mengucapkan sesuatu,
"Berhati-hatilah, Putriku. Tapi jangan terlalu khawatir. Ayah selalu bisa mengawasimu, kapanpun dan dimanapun."
Yang Mulia tersenyum, meski terlihat seperti sebuah nasehat, Aimara paham bahwa itu adalah sebuah peringatan.
Aimara setengah berbalik dan tersenyum manis. "Saya mengerti, Ayah."
Aimara membuka pintu keluar dan menutupnya dengan hati-hati.
Langkah Aimara bergegas untuk kembali ke kamar. Selama perjalanan, dia terus menggigit bibirnya dan mengangguk. Seolah pikirannya sedang menyetujui apa yang dirinya katakan dalam batin. Namun, wajah khawatir dan keringat dingin memenuhi wajahnya.
Begitu tiba di lorong menuju kamarnya, dia melihat Izy sedang mengobrol dengan Vancouver dan Derek. Mereka tampak sesekali tertawa di tengah perbincangan.
Aimara melangkah maju dan memotong percakapan mereka dari jauh,
"Vancouver, Derek, siapkan diri kalian. Aku ingin pergi ke butik di kawasan penduduk."