Aimara hendak berdiri begitu mendengar nama panggilan itu keluar dari mulut si Pelayan Bar. Namun, Aimara mendadak kehilangan tenaga dan kembali terduduk. Suaranya menduduki kursi terdengar gusar.
Para pekerja di bar itu menarik napas seperti orang asma, mengira Aimara sedang mengamuk.
Air muka Aimara mendadak berubah menjadi datar, seolah menjadi orang yang berbeda.
"Kau mengejutkanku." Suara pelan itu hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
Aditi melirik datar dari sudut atas matanya, ke arah si Pelayan Bar.
Si Pelayan Bar menaikkan alis dan memiringkan kepala tak menyangka. "Jadi, siapa Anda yang menggantikan Tuan Putri Aimara ini?"
Si Pelayan Bar paham betul bagaimana kondisi mereka sekarang. Dia menggunakan suara yang sama rendahnya seperti yang Aditi gunakan.
Aditi bertanya-tanya bagaimana si Pelayan Bar bisa mengetahui raga Aimara diisi oleh dua jiwa. Tapi dia memutuskan menyimpan rasa penasaran itu untuk nanti. "Itu tidak penting. Tetaplah berlaku normal berjalan kesana-kemari sambil berbicara denganku."
Usai menyelesaikan perkataannya, Aditi menggebrak meja. Dia berkata tehnya beraroma aneh dan kurang wangi.
Si Pelayan Bar memberi hormat sebagai tanda maaf dan mengambil kembali tehnya. Dia berjalan ke dapur untuk menyiapkan teh yang baru.
Tak sampai lima menit, si Pelayan Bar kembali dengan teh baru.
Aditi mengekori gerakan si Pelayan Bar dari sudut matanya. Dia berusaha untuk tak menolehkan kepalanya sama sekali. Kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengatur detak jantungnya yang berdetak seperti hampir keluar dari dadanya. Kejadian yang begitu mengejutkan dan cepat ini memicu adrenalinnya hingga ke titik maksimal. Namun, dia sadar dia harus tetap menahan diri sekuat tenaga agar tak terlihat aneh atau mencurigakan di mata orang-orang biasa.
"Apakah menjadikan Tuan Putri Aimara sebagai tiran termasuk rencana Anda untuk menyelamatkan dunia ini?" tanya si Pelayan Bar sembari membungkuk untuk menurunkan cangkir teh dari nampannya ke hadapan Aditi.
Kepala Aditi terasa akan meledak karena mendengar pertanyaan itu sekarang. Rupanya pelayan bar ini tahu apa yang sedang dia usahakan mati-matian secara rahasia.
Aditi melirik dari sudut matanya. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Si Penjaga Bar sedikit menaikkan sudut bibirnya. "Andai kita berdua sedang tidak terjebak dalam pengawasan seperti sekarang, saya ingin menunjukkan siapa saya sebenarnya. Namun, sebagai penyingkat, saya akan memperkenalkan diri sebagai penjaga keselamatan dunia ini."
Jemari Aditi yang memegang cangkir bergetar setelah mendengar perkenalan itu. Rasa penasaran terbesarnya atas sosok yang berkuasa atas dunia ini telah terjawab. Atau paling tidak, bisa dibilang "sosok yang memiliki sudut pandang mahatahu tentang dunia ini" selain dirinya. Namun, apakah sosok pelayan bar ini adalah seorang dewa digdaya seperti yang dibayangkan Aditi? Aditi pun harus mencari tahu jawabannya.
Aditi mengangkat pandangannya sedikit. Matanya menyusuri tiap inchi ekspresi yang dibuat si Pelayan Bar. Dia tampak tetap datar dan santai, serta kurang tidur, seperti saat pertama kali dia melayani Aditi di bar bersama Albert. Aditi kembali menatap tehnya dengan lega.
Tangannya mengangkat cangkir dan menyesap isinya. Rasa manis teh dan aroma melati yang wangi membuatnya merasa senang. Entah ini teh yang sama dengan yang tadi atau tidak, Aditi tetap senang. Akhirnya dia bisa mencicipi teh ini.
"Baik, aku mengerti," ucap Aditi dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
Si Pelayan Bar itu memejamkan mata dan sedikit menunduk khidmat.
Aditi mengibaskan tangan, mengeluarkan suara normal. "Bawakan aku makanan paling enak yang bisa kalian buat."