Aditi mengerjapkan matanya. Tubuhnya terasa lemas. Merasakan posisinya sekarang, Aditi bisa tahu jika dia sedang duduk. Suara orang bercakap-cakap masuk ke pendengarannya yang setengah berfungsi. Matanya mengerjap semakin cepat sebelum kuat terbuka sepenuhnya. Dahinya mengernyit karena tak ada banyak cahaya yang masuk ke matanya. Yang bisa terlihat di sekitarnya sekarang hanya obor di sisi kanannya dan siluet dua orang yang berdiri sambil berbincang beberapa langkah di depannya.
Setelah mengamati struktur batu bata yang familiar di bawah kakinya, Aditi bisa mengetahui dimana dirinya berada sekarang. Ruangan bawah tanah. Itu juga menjawab pertanyaannya kenapa tak ada cukup pencahayaan di tempat ini.
Ketika Aditi berusaha menggerakkan tangannya, dia baru menyadari bahwa dirinya sedang diborgol. Lebih tepatnya, kedua tangannya terborgol di atas kepala. Suara gesekan besi dengan tembok yang ditimbulkan Aditi membuat dua orang yang sedang berbincang menoleh ke arahnya.
Aditi menyipit, berusaha memfokuskan penglihatannya, tapi usahanya gagal. Jika bukan karena kedua orang itu berjalan mendekat, Aditi tak akan bisa mengenalinya sedikitpun.
Ayah Aimara, alias Yang Mulia, berdiri di hadapannya dengan senyum bangga. Sementara itu, Vancouver berdiri di belakangnya dengan siaga.
"Gaun yang kau pilih sangat indah."
Aditi refleks menunduk menatap tubuhnya sendiri. Pakaiannya sudah berubah menjadi gaun yang dia pilih ketika di butik. Aditi kembali berusaha menarik tangannya.
"Jangan takut. Ayah di sini." Yang Mulia mengusap kepala Aditi dengan lembut. "Ritualnya akan segera dilaksanakan."
Apa yang kulewatkan? Kenapa aku tiba-tiba langsung berada di dalam ritual? Berapa lama aku tak sadarkan diri? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala Aditi. Bukannya merasa tenang karena sentuhan yang terasa dingin dari Yang Mulia, Aditi justru berusaha semakin keras untuk lepas dari borgolnya.
"Berhentilah mencoba melepaskan diri begitu. Bukankah kau sangat menginginkan kekuatan yang sama dengan ayah?" Yang Mulia memiringkan kepalanya demi menyejajarkan wajahnya dengan putrinya.
Aditi harus menelan ludah dalam-dalam untuk bisa mengeluarkan suara Aimara yang lembut,
"Ayah, berjanjilah aku tidak akan mati di tangan Havara setelah mendapatkan kekuatan ini."
Yang Mulia menyentuhkan dahinya ke dahi Aditi. "Kita akan jadi yang tak terkalahkan. Ayah janji."
Aditi berusaha mengendalikan diri dengan berhenti bergerak untuk kabur. Dia hanya mengepalkan kedua telapak tangannya yang terkekang. Meski sudah mencoba untuk tenang, bayangan-bayangan buruk tetap datang menghantuinya. Tentang akan jadi seperti apa dirinya jika sampai ritual yang dilakukan Yang Mulia padanya berhasil.
Vancouver mengambil obor yang berada di samping kanan Aditi. Untuk sejenak, kegelapan total menelan Aditi.
Penglihatan Aditi kembali ketika Vancouver menyalakan beberapa obor di sisi ruangan. Baru saat itulah Aditi mengetahui jika ruang ritual ini hanya berukuran 5x5 meter. Di sisi kanan dekat dinding terdapat sebuah batu yang berbentuk menyerupai buku raksasa. Vancouver menyalakan lilin yang berada di pinggiran buku dengan ukiran huruf asing itu secara berurutan dari kiri.