Havara melayangkan cakar hitamnya. Semua orang yang ada di tempat itu terbelalak, termasuk Aditi. Untungnya refleks Aditi menciptakan pedang muncul di waktu yang tepat.
Aditi membanting cakar Havara ke tanah. "Jangan membunuh Aimara seenaknya! Ini tubuh pinjamanku!" cecar Aditi.
Havara menarik cakarnya kembali dan menelan ludah kesusahan.
Gaon berlari ke arah Aditi dan berdiri membelakanginya. "Beraninya kau berusaha melukai Creator!"
Havara yang tadinya masih terlihat tak percaya kini menekuk bibirnya. Ekspresinya tak memperlihatkan rasa penyesalan ataupun ragu. Dia melipat tangan di depan dada. "Aku hanya berusaha membuktikan perkataannya."
Aditi mengepalkan tangan. Kalau dipikir-pikir villain kesayangannya ini memang bengis, walaupun berbeda dari segi kewarasannya jika dibandingkan dengan Yang Mulia. Namun, paling tidak kini Aditi bersyukur karena telah bersekutu dengan Havara. Musuhnya berkurang satu. Ancaman hidupnya juga berkurang satu.
Gaon mengangkat tangan kanannya. Muncul sesuatu yang membulat dan menghisap udara di sekitarnya. Bola itu lama-kelamaan membesar hingga menutupi seluruh telapak tangannya.
Aditi belum tahu senjata atau kekuatan macam apa itu, tapi dia yakin seorang Dewa seperti Gaon bisa melakukan serangan fatal pada manusia biasa seperti Havara.
Aditi berlari ke hadapan Gaon, melebarkan kedua lengannya.
"Berhenti bertengkar! Kita punya masalah besar bersama, apa kau ingat?" peringat Aditi.
Aditi menahan napas melihat ekspresi Gaon yang dingin dan menusuk. Aditi hanya bisa berharap semoga Gaon tidak membunuhnya. Seumur Aditi menghuni raga Aimara, tak pernah dia membayangkan akan berhadapan dengan Dewa sebagai lawan.
Havara perlahan melepaskan lipatan tangannya. Dia menatap punggung milik Aimara—sosok yang selama ini dia sakiti—melindungi dirinya untuk kedua kali.
"Maaf, Creator. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Bola hisap menyerupai lubang hitam itu lenyap dari tangan. Gaon membungkuk ke arah Aditi.
Aditi melambaikan kedua tangannya melihat Gaon tiba-tiba membungkuk ke hadapannya. Dia ingin menghalau tindakan Gaon, tapi dia takut para tokohnya meremehkannya karena tidak ingin dihormati layaknya entitas yang menciptakan dunia ini. Aditi memegangi kepalanya kebingungan.
"Apa titah Creator?" Albert berlutut ala ksatria di hadapan Aditi.
Aditi menutup wajahnya dengan dua tangan putus asa. Bahkan Albert pun. Pada akhirnya Aditi hanya bisa menggeleng hingga pusing.
"Berhenti memanggilku Creator!" tolak Aditi.
Gaon dan Albert mengangkat kepala mereka, memperhatikan Aditi yang tampak murka.
"Panggil aku Aditi, Aimara, atau terserah. Yang penting jangan Creator!" sergah Aditi.
Suasana hutan itu mendadak hening setelah frustasi Aditi tercurahkan. Aditi menelan ludah kesusahan menyadari setiap orang di tempat itu tunduk padanya secara mutlak setelah mengetahui siapa jati dirinya sebenarnya.
"Maafkan rasa penasaran saya, tapi kenapa Crea-maksudku, Aditi, bisa turun ke dunia ini?" celetuk Albert penasaran.
Aditi termenung sebentar memikirkan kata untuk diucapkan. Tidak mungkin dia akan memberitahu kalau dirinya pun tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Kenyataannya, dia pun tak sepenuhnya ingin diekspos sebagai pencipta dari dunia ini. Dan fakta bahwa dia sebenarnya sudah mati di dunia asalnya. Itu pasti akan membuat isi kepala ketiga orang di sekitarnya kacau tidak karuan.