Kini orang yang berada di samping Aditi tinggal satu orang. Albert. Ksatria itu duduk di sebelah Aditi sejak Gaon pergi.
Aditi mengusap wajahnya yang basah. Ada banyak orang yang sudah mati di sekitarnya. Baik itu disebabkan olehnya ataupun kecelakaan yang tak dia sangka.
Wajah sendu Abel yang meminta maaf karena telah menyita waktu Aditi sore itu terbayang dalam kepala Aditi. Pelayan yang menatap Aditi ketakutan ketika Aditi menusuknya. Wajah seorang penduduk yang mengolok Aditi agar terus disiksa oleh Havara. Delapan perampok yang ternyata merupakan bawahan Havara. Yang terakhir, Izy yang berlari meninggalkan Aditi untuk mengalihkan perhatian.
Aditi menggigit daging rusanya sambil mengusap air matanya.
“Aditi, kenapa kau masih menangis?” Albert menghela napas melihat Aditi terus menangis.
“Aku rasa daging rusanya lebih enak asin,” gurau Aditi.
Albert menggeleng berat dan beranjak dari tempat duduknya. Dia berlutut di depan Aditi dan menarik tangan Aditi yang tiada henti mengusap wajah. Albert menggantikan diri untuk mengusap wajah Aditi yang basah kuyup. Sudah lebih dari lima belas menit Aditi menangis.
“Berhentilah menangis. Kau tidak ingin sakit demam di tengah peperangan, kan?” gurau Albert, berusaha menenangkan Aditi dengan memakai frekuensi yang sama.
Aditi tertawa kecil, air matanya berhenti keluar.
Albert tersenyum melihat usahanya berhasil. “Aku tahu tempat yang bagus. Ayo kita ke sana mumpung hari masih cerah,” ajak Albert.
Aditi menatap mata Albert yang berkilauan, seolah percaya diri bahwa Aditi akan menyukai tempat yang dia maksud.
“Baiklah.” Aditi mengangguk.
Albert memunggungi Aditi dan berjongkok. “Tempatnya agak jauh, jadi naiklah.”
Aditi tersenyum haru melihat usaha Albert menghiburnya. “Boleh sambil makan rusa panggang?”
Albert tertawa. “Tentu saja. Cepat naik.”
Aditi mengalungkan tangan kirinya dari belakang, sementara tangan kanannya memegang paha rusa yang besarnya setengah kepala orang dewasa.
Setelah memastikan Aditi dalam posisi nyaman, Albert mulai berjalan. Dalam perjalanan, Aditi mengunyah daging rusa buruannya tanpa suara. Albert sesekali menolehkan kepala sambil tersenyum tenang.
Aditi membiarkan keheningan mengisi perjalanan mereka. Hanya ada suara serangga mengerik dan semilir angin yang meniup daun. Di tengah kekosongan yang nyaman, Albert teringat suatu hal yang membebani pikirannya.
“Apa kau ingat pernah bertanya padaku tentang bagaimana orang-orang lebih menyukai orang baik daripada orang jahat?” tanya Albert.
Aditi menelan makanannya sebelum bersuara. “Ingat. Kenapa?”
“Kenapa kau begitu memikirkan hal itu?” tanya Albert penasaran.
Aditi tertawa datar. Dia teringat hari-harinya di kantor. “Karena sangat sedikit orang yang menyukaiku. Tentu saja karena sifatku yang buruk. Aku jarang menawarkan bantuan. Aku jarang tersenyum. Bicaraku ketus. Sejujurnya aku mengkhawatirkan masa depanku saat itu. Tapi tenang saja, sekarang aku baik-baik saja.”
Albert sempat sedikit tercengang, berpikir apakah dunia Creator sama seperti dunianya. Namun, dia menghapus pertanyaan itu dari kepalanya karena berpikir hipotesis seperti itu tidak sopan.
Albert memikirkan jawaban dengan serius. “Segala hal di dunia ini pasti berkaitan dan punya benang merah. Kau yang punya sedikit orang yang menyukaimu menunjukkan bahwa hanya merekalah yang menerimamu dalam hidup mereka. Kau mungkin bisa mendapatkan lebih banyak orang, tapi mereka pasti tak akan bertahan lama. Dari awal, kau tidak sadar kalau kau sudah menyeleksi orang-orangmu sendiri. Memiliki banyak orang yang menyukaimu tidak menjamin masa depanmu akan jadi lebih baik.”