Unauthorized Life

Ajeng Meira
Chapter #36

35

Havara dan 300 ksatria berkuda dari wilayah Barat Laut bergerak bersama, melewati hutan bagian utara wilayah Tengah yang lebat. Langit mulai gelap karena matahari bersiap untuk tenggelam. 

Raja Wilayah Barat Laut mempercepat laju kudanya, menyejajari Havara yang memimpin sebagai pemandu jalan.

“Wilayah Tengah sepertinya tidak terurus, Havara. Hutan seperti ini seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi perkebunan. Atau jika memang ingin melestarikan hutan, paling tidak hilangkan batuan terjal ini untuk membuat jalan yang bagus,” keluh Raja Wilayah Barat Laut.

Havara menggeleng. “Saya juga tidak mengerti jalan pikiran orang itu, Raja. Penguasa Tanah di sini tidak mempedulikan wilayahnya sendiri dan malah menghancurkan negeri lain.”

Havara kembali menatap ke depan, mengarahkan kudanya agar bergerak menghindari bebatuan hutan.

Di luar, Havara terlihat santai dan menjawab pertanyaan Raja Wilayah Barat Laut. Namun, nyatanya dia begitu mengkhawatirkan kabar Aimara yang masih berada di hutan. Apalagi setelah markas buatannya menghilang. Dia hanya bisa berharap Aimara maupun jiwa lain yang ada di dalamnya baik-baik saja saat ini.

Havara dan Raja Wilayah Barat Laut merencanakan sebuah penyergapan di malam gelap. Setelah Havara memperingati Raja Wilayah Barat Laut untuk mengatur ulang susunan pasukan yang berangkat untuk membunuh Tuan Tiran, diadakan rapat bersama para ksatria. Hasil yang mereka sepakati adalah langsung menyerang istana terlebih dahulu. Karena begitu istana dan Tuan Tiran yang berada di dalamnya dilumpuhkan, peperangan bisa berakhir dengan cepat. Havara bisa yakin dengan hal itu karena Tuan Tiran kini tak punya kekuatan iblis yang membantunya dari belakang lagi. 

Dengan begitu, Aimara tak perlu terlibat dalam peperangan. Havara termenung mengutuk dirinya sendiri karena malah mengkhawatirkan sosok yang selama ini menjadi objek balas dendamnya. Meski begitu, dia tak bisa memungkiri kepalanya yang saat ini dipenuhi oleh rasa penasaran akan keadaan Aimara sekarang. 

Havara menajamkan penglihatan melihat kilauan cahaya mentari yang memantul dari kejauhan. “Kita hampir sampai!” bebernya.

Raja Wilayah Barat Laut mengeluarkan pedang dari sarungnya dan mengangkatnya setinggi-tingginya.

“Ksatria, bersiap!” titahnya.

Seluruh pasukan di belakangnya mengeluarkan senjata mereka dan berseru bersamaan.

Dinding belakang istana terlihat jelas. Lapangan latihan yang biasanya dipakai untuk sparing pun terlihat kosong. Raja Wilayah Barat Laut mengernyit. Mengamati panjang, lebar, dan tingginya istana Tuan Tiran, jika ditotal besarnya hanya seperempat istana Barat Laut. Selain itu, tak terlihat penjagaan sama sekali di lapangan latihan itu. Padahal Raja Wilayah Barat Laut yakin Tuan Tiran orang yang sangat berhati-hati. 

“Terlihat tanpa penjagaan sama sekali,” bisik seorang ksatria.

Raja Wilayah Barat Laut yang mendengarnya langsung bersuara, “Jangan lengah! Kita bagi pasukan menjadi dua, kepung dari samping dan kuasai hingga lantai teratas. Sebelah kiri aku pimpin, sebelah kanan Havara pimpin. Maju!”

Dalam sekali ayunan pedang Raja Wilayah Barat Laut, pasukan besar berisi ksatria terbagi menjadi dua. Separuh pasukan berlari mengekori gerak Raja Wilayah Barat Laut menuju sisi kiri istana. Sementara Havara terus melaju menuju di jalur yang lurus karena lajurnya tepat berujung di sisi kanan istana.

Lihat selengkapnya