Aditi menahan pedang besar Yang Mulia. Pedang itu adalah pedang paling besar yang pernah Aditi lihat. Panjangnya menyamai tombak dan lebarnya dua kali pedang Albert. Ingin rasanya Aditi merubah bentuk pedangnya agar menyamai ukuran pedang Yang Mulia, tapi dia tidak yakin itu bisa langsung membalikkan keadaan. Karena pedang yang besar pasti juga punya massa yang berat.
Pedang besar diikuti tenaga Yang Mulia berseru dengan menekan Aditi. Ini bukan pertama kali Aditi beradu pedang dengan Yang Mulia. Raga Aimara masih bisa mengingat jelas bagaimana naik turunnya tekanan yang diberikan Yang Mulia hari itu ketika latihan. Aimara saat itu bisa mengimbangi Yang Mulia yang hanya main-main.
Aditi mendecih, kesekian kalinya harus terpukul mundur. Meski begitu, ekspresinya tetap tenang. Aditi paham betul dia tak mungkin bisa mengalahkan Yang Mulia. Namun, misinya saat ini adalah bertahan dan tidak terbunuh. Hanya itu yang perlu dia usahakan.
Albert dengan zirah dan pedangnya mengeluarkan aura emas. Seluruh ksatria yang dibawa Yang Mulia mengepungnya. Albert tak tahu berapa total pasukan yang Yang Mulia bawa, karena dia sudah berhenti menghitung setelah mengalahkan ksatria ke-21. Meski dikepung hingga matanya tak bisa menjangkau mereka semua, Albert tak terlihat kesulitan sama sekali. Justru, seringkali dirinya melirik cemas ke arah Aditi yang berhadapan satu lawan satu dengan Yang Mulia.
Aditi tak ingat jelas bagaimana tiba-tiba keadaan menjadi seperti sekarang. Yang dia ingat sebelum pertarungan sengit ini berlangsung adalah dirinya dan Albert sedang bersantai di tengah padang dandelion. Albert tertidur di pangkuannya dan Aditi menikmati pemandangan langit biru yang cerah. Ketika matahari terbenam, entah bagaimana Yang Mulia beserta pasukannya sudah mengepung mereka dan menyerang. Strateginya pun terlihat sudah matang. Yang Mulia mendekati Aditi dan menyerangnya dengan kekuatan penuh sementara ksatria lain mengerubungi Albert untuk membuatnya sibuk.
Apa tujuannya hanya membunuhku? Kenapa aku? Aditi mengerang menahan serangan berat Yang Mulia.
Disaat pedang Yang Mulia menekan Aditi hingga tubuhnya tak bisa berdiri dengan tegak, Aditi teringat pesan terakhir Gaon untuknya.
"Ini hanya firasat saya, tapi sebaiknya Creator menghitung berapa kali nyawa Tuan Putri Aimara terancam di kehidupan kali ini."
Aditi mengingat dengan jelas bagaimana kisah novel yang ditulisnya. Aimara yang sering dirundung oleh Havara karena dengki, mengalami peristiwa yang mengancam nyawa sebanyak tiga kali. Aditi mereka ulang ingatan, dia dua kali ditusuk hingga hampir mati oleh Havara. Itu artinya kesempatannya berada di tubuh Aimara tinggal satu nyawa lagi.
Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan! Bertahan!
Seiring meneriakkan kalimat itu di dalam kepala, Aditi berseru dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membalikkan tekanan yang diberikan Yang Mulia.
Aura emas berbentuk butiran menyelimuti pedang Aditi dan berhasil memukul mundur balik Yang Mulia.
Yang Mulia terengah-engah, walau sedikit. Di sela-sela jeda, Yang Mulia mengamati aura keemasan di pedang Aditi. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau lakukan di dalam tubuh putriku?"
Aditi menggeleng keras, tak menggubris pertanyaan Yang Mulia. Sedikit perasaan yang muncul di hatinya seketika sirna. Aditi tak boleh membiarkan jiwa sang Anak di dalam raganya mengambil alih. Maafkan aku, Aimara. tapi perasaan ini menentukan hidup dan matiku.
Aditi melayangkan pedang yang kini sempurna berlapis cahaya emas.
Yang Mulia memasang kuda-kuda dengan tegak dan kokoh. Pedang besarnya berhasil menahan serangan demi serangan Aditi.