Aditi menelan ludah kesusahan. Dirinya tak sadar sudah menempatkan diri dalam sebuah peperangan yang bertujuan untuk membunuh atau melindungi dirinya. Scara tidak langsung, semua orang di medan peperangan ini sedang bertekad untuknya. Memikirkan kembali bagaimana alur awal novel membuat Aditi merasa telah merusak jauh jalan ceritanya. Namun, dia teringat pada kata-katanya sendiri.
"Setiap takdir sudah ditentukan awal dan akhirnya. Namun, apa yang terjadi selama di tengah kedua hal tersebut tidak pernah ditetapkan. Begitupun kisah di dunia ini. Awal dan akhir kalian tetap sama, tapi apa yang terjadi diantaranya adalah hak kalian yang memutuskan."
Aditi mengubah Kunci Ebbinghauss menjadi sebuah pedang yang lebih besar. Benar. Tujuan akhirnya tetap satu. Menjadikan Albert sebagai raja!
Sebuah tangan dari kegelapan menyentuh pundak Derek. Vancouver menyusul berdiri di sebelahnya. Aditi mencengkeram pedangnya lebih erat. Kini pertarungan berubah menjadi dua lawan dua.
Aditi melirik Havara. Mereka bersitatap singkat dan mengangguk bersamaan.
Pada detik yang sama, langkah kedua belah pihak terpacu. Derek dan Vancouver berhasil menunjukkan lebih dulu apa itu kerja sama dalam pertarungan tim. Derek lebih banyak melayangkan serangan, sementara Vancouver membantu menghalau serangan cakar Havara sekaligus terang-terangan mengincar Aditi dengan serangan bertubi-tubi.
Vancouver adalah yang paling lincah di pertarungan. Tubuhnya bisa terlihat menghilang sekelebat mata, padahal dia hanya bersembunyi dalam bayangan kegelapan. Caranya memanfaatkan medan dan kegesitannya menunjukkan seberapa veteran dirinya dalam pertarungan langsung.
Aditi menarik napas dan menajamkan penglihatan. Derek bergerak menyerang dengan kombo yang menyita perhatian. Senjata Aditi terkunci pada serangan Derek. Havara berusaha membantu, tapi Vancouver bergerak ke arahnya. Aditi mengubah bentuk senjatanya menjadi tombak. Selain menahan serangan Derek, sisi tajam tombaknya berhasil menusuk sedikit lengan Vancouver.
Havara tersenyum sambil ber-wow tanpa suara. Aditi memutar senjatanya, merubahnya lagi menjadi sebuah sabit. Keleluasaan Aditi mengubah bentuk senjata dan refleks otaknya membuat pertarungan menjadi seimbang.
Pasukan Tengah dapat dilibas dengan cepat oleh pasukan Barat Laut. Dari ratusan, tinggal puluhan ksatria yang masih bertarung dengan sengit. Selain karena jumlah mereka yang kurang, juga karena Raja Wilayah Barat Laut mampu membabat habis siapapun yang berhadapan dengannya dalam sekali tebasan pedang. Ksatria Barat Laut yang tersisa menyapu pemandangan sekitar untuk menilai situasi.
Pertarungan utama yang masih berlangsung sengit membuat semua orang ingin menyaksikan.
Yang Mulia dan Albert menunjukkan makna sejati dari kekuatan. Serangan demi serangan. Lompatan demi lompatan. Tak ada gerakan yang terbuang. Tiap serangan mendapat pasangan tangkisan. Tiap gesekan senjata dari keduanya menimbulan percik api yang dengan ironinya terlihat indah di tengah hutan yang gelap. Gerakan keduanya terlihat berat, tapi itu adalah fatamorgana. Yang terjadi adalah gerakan mereka terlampau cepat sehingga menunjukkan ilusi bahwa gerakan itu terlihat lambat dan berat.