Unauthorized Life

Ajeng Meira
Chapter #40

39

Beberapa penjaga yang berdiri di taman depan istana wilayah Tengah menyambut datangnya rombongan raja mereka bersama Albert dan Aditi. Pasukan berkuda berhenti di depan gerbang masuk. Tiap penunggang kuda turun dari kuda dan memasuki gerbang masuk. Sorak sorai dari para pasukan berjaga disambut oleh pasukan berperang yang jumlahnya hampir mendekati utuh. Havara hanya tersenyum dan mengangkat pandangan sembari menyambut sambutan, tapi langkahnya tak berhenti hingga mencapai pintu depan istana.

Raja Wilayah Barat Laut sibuk mengumumkan kemenangan perang dan andil Albert dalam mengalahkan Tuan Tiran. Albert tersenyum menanggapi cerita Raja Wilayah Barat Laut yang memuji-mujinya. Sementara itu, Aditi memasang mata pada tiap jendela dan sudut istana. Penglihatannya sibuk mencari batang hidung seseorang di dalam bangunan istana yang tampak kosong.

Aditi tersenyum riang melihat siluet yang bergerak di balik gorden kamarnya.

Aditi mengambil langkah seribu memasuki istana. Albert yang masih dielu-elukan oleh Raja Wilayah Barat Laut pun tak mampu menghentikan langkah Aditi yang terlalu cepat.

Havara membuka pintu istana bagian tengah. Kondisi istana kosong. Tak ada satu pun orang. Hening dan gelap. Hanya ada suara engsel pintu yang membuka. Aditi berlari mendahului Havara untuk masuk ke bagian istana yang lebih dalam.

"Hei, tunggu...," Suara peringatan Havara kalah oleh semangat membara Aditi menemukan pelayan setianya.

Havara menelan ludah kesusahan sembari melihat Aditi berlari ke gedung sayap kiri istana. Kepalanya terasa berisi kabut saat melihat keadaan istana yang kembali kosong. Havara menoleh ke belakang, melihat ke arah pasukan yang riuh.

"Bagaimana keadaan di sini selama kami pergi?" tanya Kordhell mengawasi sekitar.

"Aman, Jenderal. Kami membagi beberapa untuk menyisir ke dalam istana." Seorang prajurit memberikan jawaban percaya diri.

Aditi berlari melewati lorong yang sepi dan gelap. Langkahnya melambat ketika melihat mayat ksatria yang tergeletak. Aditi berhenti sebentar untuk memperhatikan seragam yang dipakainya. Simbol yang terjahit di seragamnya adalah pedang di depan berlian.

Apa pasukan Barat Laut sempat bertarung di dalam istana? Aditi berpikir sebentar sebelum melanjutkan langkahnya menuju kamar Aimara.

Aditi membuka pintunya dengan semangat dan memanggil nama Izy.

Namun, tidak ada yang keluar.

"Izy, ini aku. Keadaan sudah aman sekarang. Kita selamat!" seru Aditi bahagia.

Aditi berputar ke segala arah. Pikirannya meragukan siluet yang tadi dia lihat di balik gorden. Mengenai apakah yang dia lihat sungguh Izy atau hanya halusinasi. Aditi melangkah menuju gorden kamar yang terbuka dan berkibar diterpa angin malam. Ketika dia menyibaknya, tak ada siapapun di sana.

Ketika Aditi berbalik—

Sebuah tangan bergerak ke arahnya. Itu bukan tangan Izy, melainkan Vancouver. Tangan Vancouver yang pernah mengajarinya cara memegang belati, kini sedang mencekiknya. Seharusnya Aditi bisa mewujudkan pedang dengan Kunci Ebbinghauss, jika saja saat ini tangan itu tidak sibuk untuk meraih cengkeraman Vancouver yang mencengkeram lehernya bagai memeras sesuatu hingga kering. Udara tak bisa masuk maupun keluar. Aditi pun tak bisa berteriak.

Dada Aditi terasa sakit. Kepalanya berdenyar. Tangannya yang sibuk melakukan segala cara untuk menyakiti tangan Vancouver terlihat sia-sia.

"Aimara, katakan sesuatu jika kau mendengarku!" suara Havara terdengar menggelegar dari lorong menuju kamarnya.

Ketika Aditi merasa cengkeraman Vancouver padanya melonggar, disaat yang sama tubuh Aditi melayang dari balkon kamar. Aditi percaya diri bisa mendarat sempurna....

Jika saja posisinya bukan telentang.

Aditi berharap waktu bisa melambat sedetik saja.

Lihat selengkapnya