22 Mei 2019.
Api-api biru keluar dari telapak kanan Dantae. Serentak dengan air yang membawa arus kuat seperti air terjun dari telapak kirinya. Beradu dalam energi bertolak belakang yang sama dahsyat. Luap amarah yang memenuhi diri dan mengacak kewarasan menjadikan Dantae tidak terkontrol. Para bocah pengganggu berlari ketakutan, tetapi tidak bisa mencapai kejauhan, sebab terjebak kabut tebal yang tercipta dari kekuatan Dantae yang untuk pertama kalinya muncul ke permukaan.
Entah beruntung atau tidak, sebelum sempat menghajar dengan tujuan menghancurkan sumber yang dengan sengaja membakar sumbu bom, Dantae jatuh menimpa tanah dengan keras. Teriakan-teriakan ketakutan memudar di pendengaran. Lalu, gelap. Dantae pingsan.
Sudah ini apa lagi, ya?
Ekspresi bocah-bocah pengganggu lebih dahulu atau Master Wynter?
Aruna menggeleng kuat. Hapus. Hapus. Hapus. Buat sketsa Dantae lebih dahulu. Aruna mencepol rambut hitam lurus sebahunya. Beringsut mendekatkan diri ke layar komputer, hingga rasa-rasanya bisa saja mencium jika memangkas lebih. Fokus yang terkunci untuk memerhatikan setiap gambar yang tertampil dengan tangan sibuk menggerakan *stylus di atas tablet khusus gambar. Kemudian warnai. Rambut hitam panjang yang berubah seperti habis terbakar—abu-abu tua. Lecet dan bercak darah di wajah.
Master Wynter yang datang terlambat. Memeriksa keadaan para bocah pengganggu—murid Master Wynter—selain Dantae, yang ikut pingsan karena dampak yang disebabkan Dantae. Baru setelahnya Dantae.
Wajah khawatir saat mencoba membangunkan. Dantae membuka mata. Bagaimana harusnya menggambarkan mata Dantae? Sedihkah? Takutkah?
Hapus. Hapus. Lagi-lagi ekspresi mata Dantae dihapus. Bagaimana seharusnya tokoh utama digambarkan? Harusnya seperti …. Aruna mengalami kebuntuan.
Dering weker yang menjerit menyadarkan Aruna. Hafal letaknya, Aruna menggapai benda tersebut dengan meraba dan melepaskan baterai dari badannya. Meletakkan asal di atas meja kerja untuk lanjut menenggelamkan diri mengarungi mimpi.
Selang beberapa menit, ponsel Aruna yang bergantian mengusik. Panggilan pertama tidak Aruna hiraukan. Kedua sama saja. Lalu panggilan ketiga datang. Aruna menyerah dan bangkit dari posisi tidur tidak nyamannya—menelungkup di atas meja dengan kedua tangan sebagai alas sambil duduk di kursi kerja. Menekan ikon hijau dan merapatkan ke telinga.
“Halo!” Suara dari seberang sana yang memulai percakapan. Sedangkan Aruna hanya berdehem pelan dengan mata yang kembali terpejam.