UNBELIEVABLE; Is Yourself

rossewoodz
Chapter #3

Bab 2 Belum Jadian Juga?

Aruna memarkirkan mobil hitam yang dikendarainya dari Jakarta ke pekarangan rumah orangtuanya—di kompleks perumahan Griya Labuan Asri, Labuan, Banten—saat adzan magrib selesai dikumandangkan. Mengetuk pintu beberapa kali dengan ransel diambin. Sambil menunggu, Aruna mengamati sekitar.

Tidak ada yang banyak berubah di lingkungan ini, termasuk ayunan kayu yang talinya diikatkan pada dahan pohon manga—yang sebagian dahannya masuk pekarangan rumah sebelah. Meskipun, ada pagar pembatas, sama saja bohong karena tingginya cuman satu meter. Diganti bila sudah rusak, tetapi posisinya tidak berubah dari dulu. Mengingatkan pada kenangan yang sama—tempat bermain sewaktu kecil.

Tak lama, emak—wanita paruh baya dengan tubuh berisinya dibalut mukenah putih keluar. Disusul bapak—yang terkesan lebih kurus—dengan kain sarung dan peci. Aruna mengucap salam dan mencium punggung tangan mereka bergantian.

"Langsung bersih-bersih. Ambi wudu. Kita salat bersama." Aruna mengangguk dan melakukan apa yang bapak katakan. Sebab, sepertinya ia bertamu ketika emak dan bapak hendak menunaikan ibadah. Sekalian memang sudah lama tidak salat berjamaah dengan keluarga.

“Masak apa, Mak?”

Aruna melangkah malas-malasan menuju meja makan sambil merapikan rambut asal. Duduk pada kursi dengan kedua kaki terlipat di depan dada. Mencomot tempe goreng dari piring yang baru saja emak letakkan di atas meja.

Acara mengunyah dengan tenang langsung terganggu akibat tangan selebar tapak gajah menampar bahunya dengan kekuatan sama gajahnya. Membuat Aruna terbatuk-batuk dan hampir saja menyemburkan isi mulut.

“Heh! Anak gadis masa sudah makan padahal mandi saja belum.” Bisa Aruna lihat dari ekor matanya sang pelaku menarik kursi di sebalah Aruna dan duduk di sana saat Aruna menengak minum dengan rakus.

“Heh! Apa-apaan coba?” Rasanya kepul asap imajiner muncul di atas kepala sangking emosinya Aruna.

Yang dimaksud nampak acuh. Mengucapkan terima kasih pada emak yang baru saja menyajikan sepering nasi untuknya. Lanjut menyapa bapak yang barusan duduk di depannya. Mengabaikan tatapan tajam nan begis dari Aruna yang meradang. Menunggu suap pertama masuk ke dalam mulut untuk selanjutnya balas dendam akan terlaksana. Begitu kesempatan itu sampai, Aruna menepuk sekuat tenaga dan seiklas hati yang penuh dendam kusumat pria itu hingga tersedak dan batuk kencang.

“Mampus, lo!” umpat Aruna berapi-api.

“Nana, gak boleh gitu!” tegur emak yang sepertinya segan dengan sikap anaknya.

“Biarin, Mak. Senjata makan tuan itu namanya.” Aruna hendak melayangkan pukulan kedua. Namun, deheman pelan dari bapak membuatnya urung dan menarik tangan kembali dengan mata yang masih setia menatas begis.

“Ngapain lo pagi-pagi buta ke sini?” tanya Aruna dengan suara menggelegar di seisi rumah. “Mana kayak maling lagi. Main nyelonong masuk aja.”

Yang ditanya masih mengabaikan. Memilih mengusap. Liur, ingus, dan air mata terlebih dahulu dengan tisu yang disodorkan emak.

“Woy, jawab!”

“Apa Sayang?” jawabnya enteng sambil meletakkan tisu ke atas meja di sebelah piringnya. Tersenyum manis saat bersitatap dengan Aruna.

***

“Lo enggak ada niatan bawa gue jalan gitu?”

“Lo enggak ada niatan buat balik gitu?” pertanyaan Indra, Aruna jawab dengan malas.

Mereka berdua kini duduk di ruang keluarga. Aruna duduk bermalas-malasan di sofa sambil memindahkan saluran televisi tiap dua menit sekali, tepatnya tidak tertarik menonton apa pun, sedangkan Indra duduk dengan punggung menyender pada sofa di dekatnya sambil memeluk toples Khong Guan isi rengginang. Tadi emak menjelaskan kalau Indra sudah datang sejak dua puluh menit sebelum Aruna bangun, sekitaran jam setengah tujuh—pagi buta jika menurut Aruna.

“Pantai Carita, misal?” indra bertanya kembali, tak peduli dengan tanggapan tak suka dari Aruna. Mereka berdua memang seperti itu, makanya banyak orang yang heran kenapa mereka bisa cocok-cocok saja. Ya, meski terkadang lebih banyak adu bacotnya ketimbang akur.

“Balik sekarang, misal.” Ok itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Indra hanya menolehkan kepalanya ke kiri, menatap wajah Aruna yang terlihat serius menggonta-ganti saluran tak jelas. Memandang malas dengan mulut terus mengunyah rengginang.

Lihat selengkapnya